KEJAHATAN PERKOSAAN DALAM PERKAWINAN
Wednesday, April 11, 2012
0
komentar
westjava27.blogspot.com
    Pemaksaan Hubungan Seksual dalam Perkawinan 
adalah Kejahatan Perkosaan
adalah Kejahatan Perkosaan
Banyak pihak yang     masih belum mau mengakui adanya praktek pemaksaan hubungan seksual     dalam perkawinan. Memang kasus ini tidak banyak terangkat karena     korban lebih sering menyembunyikan penderitaan yang dialaminya. Malu,     menggangap apa yang dialaminya adalah hal yang tabu untuk diketahui     orang lain dan ketidaktahuan bahwa pemaksaan hubungan seksual adalah     kekerasan merupakan beberapa alasan yang sering ditemukan. Padahal     kenyataannya, banyak terjadi pemaksaan hubungan seksual yang     dilakukan oleh suami terhadap istrinya… 
.: Masa sih ada     suami memperkosa istrinya sendiri?
Sebagian masyarakat masih berpendapat     bahwa tidak ada yang namanya perkosaan dalam perkawinan. Menurut     mereka, setiap hubungan seksual yang berlangsung antara suami istri     - terlebih dalam dalam ikatan yang sah secara hukum dan agama -     adalah suatu kewajaran dan rutinitas yang memang sudah seharusnya     dilakukan. Anggapan lain di masyarakat yang tidak tepat adalah istri     tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual. Kuatnya     anggapan tersebut menyebabkan ketika suami melakukan pemaksaan dan     kekerasan seksual terhadap istrinya, kecenderungan masyarakat adalah     justru menyalahkan si istri. Apalagi jika isteri menolak, mereka     akan dipandang sebagai isteri yang melawan suami. Bagi mereka, istri     harus selalu siap melayani kapanpun suami menginginkan hubungan     seksual. Padahal, adakalanya istri sedang tidak bergairah, sedang     menstruasi atau tertidur karena kelelahan sesudah beraktivitas     seharian, baik itu di luar ataupun di dalam rumah. Tidak jarang pula     ada suami yang memaksa melakukan variasi hubungan seksual dengan     gaya atau cara yang tidak ingin dilakukan oleh si istri karena istri     menganggapnya di luar kewajaran. Sebagai perempuan yang memiliki     tubuhnya sendiri, istri tentu memiliki hak untuk mengatakan tidak     dan menolak setiap bentuk hubungan seksual yang tidak diinginkannya.     Dengan demikian, penting untuk dicamkan bahwa perkosaan dalam     perkawinan adalah setiap hubungan seksual dalam ikatan perkawinan     yang berlangsung tanpa persetujuan bersama, dilakukan dengan paksaan,     dibawah ancaman atau dengan kekerasan. Sehingga, jika ada suami yang     memaksa istrinya untuk melakukan hubungan seksual padahal istri     tidak menginginkannya, maka itu termasuk tindak perkosaan.
.: Seperti apa     pemaksaan hubungan seksual yang pernah terjadi?
Berikut adalah beberapa variasi kasus     pemaksaan hubungan seksual yang kerap terjadi menurut hasil     penelitian maupun kasus-kasus yang pernah ditangani oleh LBH APIK     Jakarta:
1. Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami. Istri dipaksa melakukan anal seks (memasukkan penis ke dalam anus), oral seks (memasukkan penis ke dalam mulut) dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak dikehendaki istri.
2. Pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur.
3. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupinya.
4. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan intim tanpa persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya.
5. Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah seksual.
6. Pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang haid/menstruasi.
7. Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki.
8. Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri seperti memasukkan benda-benda ke dalam vagina istri, mengoleskan balsem ke vagina istri, menggunting rambut kemaluan istri dan bentuk kekerasan fisik lainnya.
1. Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami. Istri dipaksa melakukan anal seks (memasukkan penis ke dalam anus), oral seks (memasukkan penis ke dalam mulut) dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak dikehendaki istri.
2. Pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur.
3. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupinya.
4. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan intim tanpa persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya.
5. Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah seksual.
6. Pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang haid/menstruasi.
7. Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki.
8. Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri seperti memasukkan benda-benda ke dalam vagina istri, mengoleskan balsem ke vagina istri, menggunting rambut kemaluan istri dan bentuk kekerasan fisik lainnya.
.: Apa penyebab     terjadinya pemaksaan hubungan seksual?
Pemaksaan hubungan seksual terjadi     karena rentannya posisi perempuan dalam masyarakat terhadap     kekerasan, yang antara lain didukung oleh :
1. Masih dominannya nilai patriarki dalam masyarakat kita (nilai-nilai yang mengutamakan kepentingan laki-laki). Nilai-nilai yang berpihak pada laki-laki -lah yang kemudian membentuk aturan tidak tertulis ‘’istri adalah milik suami.” Dengan kata lain, perkawinan dipandang sebagai penyerahan diri sepenuhnya oleh istri terhadap suaminya dan sudah menjadi tugas seorang istri untuk melayani suami dalam segala hal. Hal inilah yang menyebabkan para suami merasa “berhak“ untuk menggunakan kekerasan seperti pemukulan, melukai tubuh, hati atau jiwa istri melalui bentakan, hinaan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika istri menolak keinginan suami untuk melakukan hubungan seksual. Disisi lain, istri yang cara pandangnya telah dibentuk oleh masyarakat yang mengutamakan kepentingan laki-laki, merasa sudah menjadi kewajiban mereka,perempuan, untuk tetap siap sedia melayani suami (laki-laki) sehingga istri tidak mampu menolak hubungan seksual dikala dirinya sedang tidak ingin atau tidak bisa. Akibatnya, hubungan seksual sering kali berlangsung dingin dan tidak dinikmati bahkan menyakiti istri,meskipun tanpa perlawanan atau penolakan langsung dari sang istri.
2. Pemahaman keliru mengenai penafsiran ajaran agama -agama. Seringkali ajaran agama-agama di salahtafsirkan yang berdampak pada pembedaan posisi perempuan dengan laki-laki atau menghadirkan perlakuan yang diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai contoh, dalam ajaran agama Islam terdapat hadits : “ Jika seorang lelaki mengajak istrinya untuk (melayaninya) di tempat tidur, lantas ia enggan untuk mendatanginya, sehingga suami tidur dengan memendam kemarahan, maka malaikat melaknatnya hingga tiba waktu pagi (riwayat Bukhari IX/293 dengan Fathul Bari) .“ Hadist ini tentu saja menimbulkan ketakutan istri untuk menolak keinginan suami. Padahal, menurut forum kajian kitab kuning (FK 3) yang menelaah kitab U’qud al Lujjayn (mengatur relasi suami-isteri) dalam hadis diatas terdapat kata al-la’nah yang seringkali dipahami secara kurang tepat. Sebaiknya, kata laknat diartikan sesuai dengan konteks sosial kemanusiaan sebagai hilangnya kebaikan, kasih sayang dan kedamaian dalam kehidupan. Jika diartikan sesuai dengan kondisi nyata kehidupan suami -isteri (kontekstual), hadis ini tidak hanya ditujukan kepada isteri (perempuan) melainkan juga kepada suami. Lebih jauh, hal yang penting untuk diingat adalah agama pada dasarnya tidak pernah menyetujui adanya pemaksaan dan kekerasan dalam bentuk apapun. Ajaran agama Islam,misalnya, menekankan konsep kesetaraan dan saling menyempurnakan sebagai landasan hubungan suami-istri sebagaimana dimaktub dalam Q.S Al Baqarah ayat 187 : “ Mereka (kaum perempuan) adalah pakaian bagimu (laki-laki) dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.“ Selain itu, suami dianjurkan untuk memperlakukan perempuan dengan baik sesuai dengan Al Qur’an surat An-Nisaa’ (Q.S 4) ayat 19 yang menyatakan “…Dan hendaklah kalian memperlakukan mereka (perempuan./istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruuf (baik)…”
1. Masih dominannya nilai patriarki dalam masyarakat kita (nilai-nilai yang mengutamakan kepentingan laki-laki). Nilai-nilai yang berpihak pada laki-laki -lah yang kemudian membentuk aturan tidak tertulis ‘’istri adalah milik suami.” Dengan kata lain, perkawinan dipandang sebagai penyerahan diri sepenuhnya oleh istri terhadap suaminya dan sudah menjadi tugas seorang istri untuk melayani suami dalam segala hal. Hal inilah yang menyebabkan para suami merasa “berhak“ untuk menggunakan kekerasan seperti pemukulan, melukai tubuh, hati atau jiwa istri melalui bentakan, hinaan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika istri menolak keinginan suami untuk melakukan hubungan seksual. Disisi lain, istri yang cara pandangnya telah dibentuk oleh masyarakat yang mengutamakan kepentingan laki-laki, merasa sudah menjadi kewajiban mereka,perempuan, untuk tetap siap sedia melayani suami (laki-laki) sehingga istri tidak mampu menolak hubungan seksual dikala dirinya sedang tidak ingin atau tidak bisa. Akibatnya, hubungan seksual sering kali berlangsung dingin dan tidak dinikmati bahkan menyakiti istri,meskipun tanpa perlawanan atau penolakan langsung dari sang istri.
2. Pemahaman keliru mengenai penafsiran ajaran agama -agama. Seringkali ajaran agama-agama di salahtafsirkan yang berdampak pada pembedaan posisi perempuan dengan laki-laki atau menghadirkan perlakuan yang diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai contoh, dalam ajaran agama Islam terdapat hadits : “ Jika seorang lelaki mengajak istrinya untuk (melayaninya) di tempat tidur, lantas ia enggan untuk mendatanginya, sehingga suami tidur dengan memendam kemarahan, maka malaikat melaknatnya hingga tiba waktu pagi (riwayat Bukhari IX/293 dengan Fathul Bari) .“ Hadist ini tentu saja menimbulkan ketakutan istri untuk menolak keinginan suami. Padahal, menurut forum kajian kitab kuning (FK 3) yang menelaah kitab U’qud al Lujjayn (mengatur relasi suami-isteri) dalam hadis diatas terdapat kata al-la’nah yang seringkali dipahami secara kurang tepat. Sebaiknya, kata laknat diartikan sesuai dengan konteks sosial kemanusiaan sebagai hilangnya kebaikan, kasih sayang dan kedamaian dalam kehidupan. Jika diartikan sesuai dengan kondisi nyata kehidupan suami -isteri (kontekstual), hadis ini tidak hanya ditujukan kepada isteri (perempuan) melainkan juga kepada suami. Lebih jauh, hal yang penting untuk diingat adalah agama pada dasarnya tidak pernah menyetujui adanya pemaksaan dan kekerasan dalam bentuk apapun. Ajaran agama Islam,misalnya, menekankan konsep kesetaraan dan saling menyempurnakan sebagai landasan hubungan suami-istri sebagaimana dimaktub dalam Q.S Al Baqarah ayat 187 : “ Mereka (kaum perempuan) adalah pakaian bagimu (laki-laki) dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.“ Selain itu, suami dianjurkan untuk memperlakukan perempuan dengan baik sesuai dengan Al Qur’an surat An-Nisaa’ (Q.S 4) ayat 19 yang menyatakan “…Dan hendaklah kalian memperlakukan mereka (perempuan./istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruuf (baik)…”
.: Apakah pelaku     pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan dapat dihukum?
Ya! Pelaku pemaksaan hubungan seksual     dalam perkawinan dapat dihukum menurut UU No. 23 thn 2004 tentang     Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( UU PKDRT) yang baru saja     berlaku. Sebelum berlakunya UU PKDRT, pemaksaan hubungan seksual     dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum pidana kita (KUHP). KUHP     hanya mengatur hukuman bagi kasus perkosaan dalam pasal 285 KUHP     yang menyatakan “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan     memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia,     dihukum, karena memperkosa…” Jadi, pasal perkosaan ini mengecualikan     isteri sebagai salah satu potensi korban perkosaan. Pengaturan ini     menunjukkan perkawinan sebagai dasar terbentuknya sebuah keluarga     dianggap sebagai sebuah lembaga tersendiri di wilayah pribadi yang     terpisah dengan wilayah publik (umum). Jika terjadi kasus kekerasan     dalam rumah tangga, negara (baca: pemerintah) enggan untuk ikut     campur karena dipandang sebagai urusan rumah tangga yang seharusnya     diselesaikan sendiri. Pasal 285 KUHP ini juga membatasi ketentuan     pemaksaan hubungan seksual hanya dalam bentuk persetubuhan, padahal     banyak cara pemaksaan yang dilakukan diluar bentuk tersebut (lihat     bagian sebelumnya ‘seperti apa pemaksaan hubungan seksual yang     pernah terjadi?’). Berdasarkan pasal 5 UU PKDRT, setiap orang     dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam     lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan     psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Secara     lebih khusus, dalam pasal 8 dijelaskan bahwa kekerasan seksual     meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang     yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri,     anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya, dalam penjelasan pasal     8 huruf a UU PKDRT di jelaskan bahwa kekerasan seksual adalah setiap     perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan     seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan     hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau     tujuan tertentu.
Mengenai hukuman bagi pelaku, ditegaskan dalam pasal 46 UU PKDRT ini yang menyatakan para pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancam hukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun) atau denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).
Mengenai hukuman bagi pelaku, ditegaskan dalam pasal 46 UU PKDRT ini yang menyatakan para pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancam hukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun) atau denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).
.: Apa yang harus     dilakukan jika anda mengalami pemaksaan hubungan seksual dalam     perkawinan ?
1. Pertama, Anda harus sadar bahwa     adalah hak Anda untuk menolak hubungan seksual yang tidak Anda     inginkan. Sehingga, jika suami mengajak berhubungan disaat Anda     sedang tidak ingin, Anda harus berani untuk menolak dan mengutarakan     alasan Anda. Bicarakan dengan baik-baik, apakah Anda lelah, sedang     haid atau Anda tidak menyukai gaya suami behubungan seks. Komunikasi     merupakan hal yang sangat penting terutama agar pasangan saling     mengetahui keinginan masing-masing.
2. Jika suami tetap memaksa bahkan sampai melakukan kekerasan baik fisik atau psikis, maka Anda jangan diam saja. Kesedihan sebaiknya jangan Anda pendam sendiri. Anda dapat menghubungi teman atau keluarga yang Anda percaya untuk menceritakan mengenai hal ini. Selain itu Anda juga dapat menghubungi Lembaga Bantuan Hukum dan Pusat Krisis untuk Perempuan dan Anak berikut ini untuk meminta informasi dan juga pendampingan. Beberapa diantaranya adalah:
• LBH APIK Jakarta
021- 8779 7289
• Mitra Perempuan
021-83790010
• SIKAP
021-31906933
• Kalyanamitra
021-7902109
• PKT RSCM Salemba
021- 316 2261, 3106976
3. Anda juga dapat melaporkan kejadian yang Anda alami ke kepolisian (RPK). Dengan adanya UU PKDRT, pihak kepolisian tidak dapat lagi mengatakan bahwa yang Anda hadapi adalah urusan pribadi dan kemudian menyuruh Anda pulang. Sebaliknya, polisi harus segera melindungi Anda.
Sebelum melapor, sebaiknya Anda mengetahui hak-hak Anda sebagai korban KDRT berdasarkan pasal 10 UU PKDRT):
• Mendapatkan perlindungan dari kepolisian, pengadilan, lembaga sosial,keluarga dan pihak lainnya terutama jika Anda merasa bahwa pelaku kerap menteror dan mengintimidasi Anda.
• Pelayanan kesehatan, jika Anda membutuhkan penyembuhan secara fisik maupun psikis (jiwa).
• Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
• Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan.
• Pelayanan bimbingan rohani.
2. Jika suami tetap memaksa bahkan sampai melakukan kekerasan baik fisik atau psikis, maka Anda jangan diam saja. Kesedihan sebaiknya jangan Anda pendam sendiri. Anda dapat menghubungi teman atau keluarga yang Anda percaya untuk menceritakan mengenai hal ini. Selain itu Anda juga dapat menghubungi Lembaga Bantuan Hukum dan Pusat Krisis untuk Perempuan dan Anak berikut ini untuk meminta informasi dan juga pendampingan. Beberapa diantaranya adalah:
• LBH APIK Jakarta
021- 8779 7289
• Mitra Perempuan
021-83790010
• SIKAP
021-31906933
• Kalyanamitra
021-7902109
• PKT RSCM Salemba
021- 316 2261, 3106976
3. Anda juga dapat melaporkan kejadian yang Anda alami ke kepolisian (RPK). Dengan adanya UU PKDRT, pihak kepolisian tidak dapat lagi mengatakan bahwa yang Anda hadapi adalah urusan pribadi dan kemudian menyuruh Anda pulang. Sebaliknya, polisi harus segera melindungi Anda.
Sebelum melapor, sebaiknya Anda mengetahui hak-hak Anda sebagai korban KDRT berdasarkan pasal 10 UU PKDRT):
• Mendapatkan perlindungan dari kepolisian, pengadilan, lembaga sosial,keluarga dan pihak lainnya terutama jika Anda merasa bahwa pelaku kerap menteror dan mengintimidasi Anda.
• Pelayanan kesehatan, jika Anda membutuhkan penyembuhan secara fisik maupun psikis (jiwa).
• Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
• Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan.
• Pelayanan bimbingan rohani.
Sudah saatnya     sekarang, masyarakat memahami 
bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan
adalah juga bentuk kejahatan perkosaan yang tidak akan lepas dari hukuman!!!
bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan
adalah juga bentuk kejahatan perkosaan yang tidak akan lepas dari hukuman!!!
sumber:http://www.lbh-apik.or.id 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KEJAHATAN PERKOSAAN DALAM PERKAWINAN
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://westjava27.blogspot.com/2012/04/kejahatan-perkosaan-dalam-perkawinan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
 
 
 
 
 
 
 
 

0 komentar:
Post a Comment