Ketentuan Hak Nafkah Bagi Istri dan Anaknya
Friday, June 8, 2012
0
komentar
westjava27.blogspot.com
Masalah  suami yang tidak mau memberikan nafkah pada keluarga banyak terjadi di  sebagian masyarakat kita. Bagi istri atau ibu yang tidak mempunyai  penghasilan, hal ini tentu sangat memberatkan karena harus menanggung  biaya perawatan dan pendidikan anak-anaknya.
Secara  normatif, hukum di Indonesia, —khususnya mengenai hak nafkah bagi istri  dan anak, baik dalam masa perkawinan maupun setelah perceraian—, dapat  dikatakan sudah cukup melindungi kepentingan perempuan. Pasal 34 ayat 1  UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa: Suami wajib  melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga  sesuai dengan kemampuannya. Ini berarti bahwa suami berkewajiban penuh  memberikan nafkah bagi keluarganya
(anak dan istri).
Ketentuan  ini merupakan konsekwensi dari ketentuan yang menetapkan suami sebagai  kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumahtangga serta pengurus  rumahtangga sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 31 ayat 3.  Sebenarnya, bila kita tilik lebih jauh, pembagian peran seperti ini akan  menimbulkan ketergantungan secara ekonomi bagi pihak perempuan (istri).  Akibat lebih jauhnya, perempuan (istri) tidak memiliki "akses ekonomi"  yang sama dengan suami dimana istri tidak memiliki kekuatan untuk  memaksa suami memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya. Sehingga  seringkali suami memberi nafkah 
sesuka hatinya saja.
1. NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM MASA PERKAWINAN
Menurut  ketentuan pasal 34 ayat 1 UU Perkawinan, baik nafkah istri maupun anak,  adalah menjadi tanggung jawab suami atau ayah anak-anak. Tetapi dari  beberapa kasus yang ditangani LBH APIK, istri yang diberi tanggungjawab  mengatur semua kebutuhan keluarga terkadang sangat sulit mendapatkan hak  nafkah dari suaminya, baik karena kemiskinan mereka maupun karena sikap  suami yang menjadikan nafkah sebagai alat untuk menegaskan kekuasaannya  sebagai suami. Akibatnya, banyak kaum isteri terpaksa dihadapkan pada  suatu situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya khususnya bagi  mereka yang tidak pernah bekerja. Pada situasi dimana suami meninggalkan  keluarga begitu saja tanpa ada kabar berita, situasinya semakin sulit  karena disamping tidak ada kejelasan tentang status perkawinannya, suami  tidak dapat lagi ditemui atau dilacak tempat tinggalnya.
2. BAGAIMANA BILA INI TERJADI PADA ANDA?
Sayangnya  tidak ada sebuah institusi sosialpun yang dapat menolong keadaan ini.  Biasanya para istri minta bantuan keluarga -- baik keluarga suami maupun  keluarga istri sendiri -- namun tentu saja hal ini tidak dapat  diandalkan sebagai sebuah penyelesaian yang tuntas atas masalah ini.  Namun demikian anda dapat menempuh cara-cara berikut ini:
a. Meminta bantuan Badan Penasihat Perselisihan Perkawinan
Meski  seringkali tidak memuaskan karena cenderung memberikan nasihat yang  bias gender dan tidak memiliki daya implementasi dan pemberian sanksi  apa-apa kecuali memberi nasihat, namun badan inilah yang secara resmi  bertanggungjawab untuk masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan.
b. Meminta bantuan kepada instansi tempat suami bekerja
Cara  ini bisa Anda lakukan dengan membuat surat permohonan yang ditujukan  kepada pimpinan perusahaan/instansi tempat suami Anda bekerja. Sebutkan  juga, sudah berapa lama suami Anda tidak memberikan nafkah kepada  keluarga, sementara Anda sendiri tidak bekerja atau anda bekerja tapi  tidak dapat mencukupi kebutuhan pendidikan dan penghidupan anak-anak  termasuk perawatan kesehatannya.
c. Melakukan Upaya Hukum
Jika  jalan musyawarah seperti diatas tidak membawa hasil, Anda dapat  melakukan upaya hukum baik ke Pengadilan Negeri (bagi yang non muslim)  maupun ke Pengadilan Agama (bagi yang muslim). Pasal 34 ayat 3 UU  Perkawinan menyatakan bahwa jika suami atau istri melalaikan  kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Selain  itu Anda juga dapat mengadukan secara pidana berdasarkan ketentuan  pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengancam  hukuman maksimal dua tahun delapan bulan bagi pihak yang sengaja  menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal  menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib  memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Untuk  mengurus proses ini Anda bisa meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum atau  pengacara terdekat.
3. HAK NAFKAH DALAM MASA PASCA PERCERAIAN
Pasal  41 UU Perkawinan menentukan bahwa akibat putusnya perkawinan suami  tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya.  Ketentuan ini juga dipertegas oleh pasal 105 (c) Kompilasi Hukum Islam.  Namun demikian pasal 41 (b) UU Perkawinan juga menyatakan bahwa bila  Bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,  Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.  Prinsip ini diperkuat oleh Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990  tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak pasal 18 ayat 1 serta UU nomor 7  tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk  Diskriminasi terhadap Perempuan pasal 16 (d) yang pada pokoknya  menyatakan dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak menjadi  tanggungjawab bersama kedua orang tua.
4. BATAS WAKTU
Pasal  149 (b) KHI hanya memberikan batas waktu tiga bulan (masa iddah) bagi  suami memberikan nafkah untuk istri setelah perceraian. Lalu bagaimana  untuk bulan-bulan berikutnya, sementara istri tidak memiliki penghasilan  ? Untuk kondisi demikian sangat dimungkinkan untuk menggunakan pasal 41  (c) yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk  memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi  bekas istri. Meski pasal ini tidak menentukan sampai kapan suami  berkewajiban memberikan nafkah bagi mantan istrinya, tetapi bila kita  mengacu pada Bab IV pasal 27 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan  Kehakiman, maka sesungguhnya hakim dapat menggali atau mengapresiasi  pasal dari UU Perkawinan tersebut dengan mempertimbangkan bahwa nafkah  bagi istri dapat diberikan selama istri tidak memiliki penghasilan lain  atau belum menikah lagi.
5. BILA SUAMI TIDAK MELAKSANAKAN PUTUSAN PENGADILAN
Masalahnya,  meski telah ada keputusan Pengadilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan  tersebut diatas, dalam praktek tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan  kepada para suami yang tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan keputusan  Pengadilan tersebut. Bila ini terjadi maka langkah yang dapat Anda  lakukan adalah:
Mengirim Surat Permohonan kepada Pengadilan
Anda  bisa mengirimkan surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama  atau Pengadilan Negeri yang memutuskan proses perceraian Anda, yang  isinya mendesak Pengadilan agar mengeluarkan surat perintah eksekusi  (pelaksanaan putusan). Apabila surat Anda tersebut telah diterima oleh  Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, maka pihak Pengadilan akan  mengirimkan surat peringatan (Anmaanning) kepada mantan  suami Anda untuk melaksanakan isi putusan Pengadilan. Bila surat  peringatan pertama tidak dilaksanakan, Pengadilan akan mengeluarkan  surat tersebut sampai tiga kali. Bila sampai ketiga kali mantan suami  Anda belum juga melaksanakan isi putusan, maka Pengadilan akan melakukan  upaya paksa.
 
Sumber: http://www.lbh-apik.or.id/fact%20-%20nafkah%20istri%20dan%20anak.htm, Judul Asli: Hak Nafkah Bagi Istri dan Anak 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Ketentuan Hak Nafkah Bagi Istri dan Anaknya
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://westjava27.blogspot.com/2012/06/ketentuan-hak-nafkah-bagi-istri-dan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
 
 
 
 
 
 
 
 

0 komentar:
Post a Comment