KURSI GOYANG SANG PENYULAM LOTUS
Thursday, June 28, 2012
0
komentar
westjava27.blogspot.com
Tema Tulisan: Aksi untuk Indonesiaku
Tema Tulisan: Aksi untuk Indonesiaku
KURSI GOYANG SANG PENYULAM LOTUS
Sepasang anak manusia sedang bermain di pekarangan sebuah rumah tua, kedua anak itu terlihat asik bermain bermain gundu. Nampak dari kaca rumah tua besar itu, seorang wanita tua sedang duduk di sebuah kursi goyang, wanita itu pun terlihat asik di kursi goyangnya, kadang ia terlihat sangat serius, mungkin ada bagian bentuk sulaman yang tersulit dari bunga lotus. Sudah seharian penuh wanita tua itu menyulam bunga lotus, sesekali wanita ini beranjak dari kursi goyangnya untuk meregangkan bagian tubuh yang terasa pegal. Tidak terasa waktu menjelang senja, sayup-sayup terdengar suara dari tempat ibadah di lingkungan kampung itu. Ya suara panggilan untuk umat Muslim menjalankan kewajibannya Shalat Magrib. Nampak wanita itu segera membereskan sulamannya yang baru jadi setengahnya. Sulaman yang cukup besar, mungkin akan digunakan untuk taplak meja diruang tamunya.
“Bu..., aku mau pulang kerumah dulu, nanti selesai Isya baru kesini lagi”
Wanita Tua itu pun menyahutnya “ Ya sudah, nanti pulang lagi kesini ya!” Jangan seperti tempo hari, Ibu tunggu, kalian berdua nda balik lagi!”.
Saat ini, saat-saat wanita tua itu sendiri, dirumah yang cukup besar bahkan boleh dikatakan sangat besar, dengan pekarangan yang luas. Rumah ini memiliki 5 ruangan kamar tidur utama yang dilengkapi dengan kamar mandi, 2 kamar tidur biasa dibelakang rumah utama, 2 kamar tidur di atas garasi dan dapur yang tertata rapih, perabotan di rumah ini baik kursi, lemari, banyak yang terbuat dari kayu Jati. Mungkin orang berada dulunya, atau mungkin ketika suaminya masih ada, suami ibu itu seorang yang bekerja dengan posisi yang tinggi, atau mungkin seorang pengusaha.
Lima belas tahun silam, Bu Supardjo masih tinggal di sebuah komplek perumahan mewah di kawasan cukup elit di ibukota Jakarta. Ia memiliki empat orang anak yang semuanya telah bekeluarga. Suaminya seorang pengusaha eksportir sukses di Jakarta. Hari-hari keluarga ini begitu istimewa, dirumahnya ini nampak tak pernah sepi, ya maklum penghuni kawasan ini yang juga rata-rata orang sukses sering berkunjung atau saling mengunjungi satu sama lainnya.
Sampai suatu ketika, suaminya pulang dalam keadaan yang lemah, wajahnya pucat dengan suhu tubuh yang panas. Rupanya suami ibu Supardjo terlalu keras bekerja, sampai-sampai lupa untuk menjaga kesehatan. Hari-hari berselang kondisi suaminya tidak juga membaik walau pun sudah ditangani oleh dokter-dokter berpengalaman, dan akhirnya suami Bu Supardjo menghembuskan nafas terakhirnya disamping istri tercintanya. Duka kelam menyelimuti hari-hari sepeninggalan suaminya, seakan-akan kemewahan dan kemegahan yang dirasakan selama ini tak dapat menghapus kenangan indah yang pernah ada. Bu Supardjo berpikir ia akan pulang ke kampung halamannya di salah satu daerah yang berada di Jawa Tengah, dimana ia dulu pernah melewati masa-masa kecilnya, dan suaminya pun berasal dari daerah yang sama. Ia berembuk dengan anak-anaknya yang telah dewasa, bahwa ia akan kembali ke kampung halamannya, agar selalu dekat dengan suaminya, “makam suaminya”.
Dua anaknya saat itu telah bekeluarga dan memutuskan untuk tetap di Jakarta, sedangkan dua anaknya lagi sepuluh tahun sepeninggalan ayahnya, menyusul ke dua kakaknya untuk bekeluarga. Ibu Supardjo pulang ke kampung halamannya diantar oleh anak-anaknya dan juga tetangga sekitarnya, ikut bersama Ibu Supardjo dua orang pembantu rumah tangga, yang kedua-duanya berusia tidak berbeda jauh dengan Bu Supardjo. Sejak muda Mbo Minah dan Pa Tresno menemani keluarga ini, begitu setia. Mbo minah juga berasal dari desa yang sama dengan Bu Supardjo, sedangkan Pa Tresno berasal dari desa tetangga yang juga tidak jauh lokasinya. Mbo Minah dan Pa Tresno merupakan pasangan suami istri yang di boyong ke ibukota oleh Bu Supardjo untuk memasak dan menjadi supir bagi Pa Supardjo. Karena sudah lama bekerja di keluarga ini, bapak dan ibu Supardjo telah menganggap Mbo Minah dan Pa Tresno adalah bagian dari keluarga Supardjo, walau pun terkadang status mereka tidak begitu dihormati oleh anak dan menantu Pa Supardjo, dihadapan anak dan menantu Pa Supardjo, Mbo Minah dan Pa Tresno tetap sebagai pembantu yang harus mau disuruh ini dan itu, diperintah ini dan itu.
Semua anak-anak Bu Supardjo menetap di Jakarta, ada yang menjadi pengusaha meneruskan usaha ayahnya, dan ada juga yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Biasanya menjelang hari raya besar keagamaan anak dan menantu juga cucu-cucunya mengunjungi Bu Supardjo. Bu Supardjo tidak tinggal serumah bersama Mbo Minah dan Pa Tresno, mereka memiliki rumah juga di desa itu, setiap hari Mbo Minah datang untuk memasak dan membereskan rumah, sedangkan Pa Tresno, setelah tidak menjadi supir, pekerjaannya berladang, dan sesekali datang ke rumah Bu Supardjo untuk memotong rumput dipekarangan rumahnya. Mbo Minah dan Pa Tresno sendiri memiliki seorang anak yang telah bekeluarga, dan memiliki sepasang anak, yang besar anak perempuan berusia 11 tahun, dan yang kecil anak laki-laki berusia 7 tahun, kedua cucu Mbo Minah dan Pa Tresno ini yang selalu menemani kesendirian malam Bu Supardjo. Kedua anak ini, sudah sejak bayi diasuh oleh Mbo Minah, orang tua kedua anak ini bekerja di serabutan, dan tinggal bersama dengan Mbo Minah dan Pa Tresno.
Album foto-foto yang ada di kamar Bu Supardjo, lembar-demi lembar dengan seksama dalam tatapan Bu Supardjo, terkadang ia tersenyum, namun nampak butiran air mata menetes diwajahnya, banyak kenangan dengan selaksa makna yang begitu dirasakan Bu Supardjo.
Seakan tersadar dari lamunannya, Bu Supardjo bergegas keluar dari kamarnya, ternyata si nok dan si tole sudah ada di rumah itu, dan sedang merapikan peralatan makan yang akan dipakai makan oleh Bu Supardjo. Sebagai seorang berada, tentu saja Bu Supardjo selalu makan sendiri di meja makan itu, walau pun Mbo Minah dan Pa Tresno sudah dianggap bagian dari keluarga Pa Supardjo, namun tetap saja perbedaan kedudukan tidak dapat dihapus. Begitu pun dengan kedua anak kecil ini, mereka belum pernah makan semeja dengan Bu Supardjo, mereka selalu makan di meja makan dekat dapur. Ruang tidur pun yang disediakan oleh Bu Supardjo untuk kedua anak ini terletak dibagian belakang, namun ke dua anak yang masih terbilang bocah ini, seakan tidak nampak keluh kesah, mereka setia menemani malam Bu Supardjo. Terkadang bila Bu Supardjo sakit, mereka diminta untuk menemani tidur di kamar Bu Supardjo, tapi tidak seranjang, kedua anak ini selalu tidur di bawah, dengan kasur yang di bawa dari kamar belakang. Padahal di kamar itu ada ranjang kecil yang bisa digunakan untuk kedua anak itu, tapi ranjang kecil itu hanya digunakan ketika cucu-cucu Bu Supardjo datang, dan Bu Supardjo selalu minta agar cucu-cucunya mau tidur dikamarnya, menemani malamnya. Terkadang cucu-cucunya setiap kali datang enggan tidur bersama Bu Supardjo, mereka lebih memilih tidur bersama orang tuanya. Nampak terlihat bila cucu-cucu Bu Supardjo tidak begitu dekat dengan Eyangnya.
Tahun kemarin, anak-menantu dan cucu-cucu Bu Supardjo datang untuk merayakan lebaran bersama, mereka biasanya berada di rumah Bu Supardjo selama empat hari, itu pun mereka sesekali pergi keluar untuk berlibur ke tempat yang menurut mereka lebih berkesan, tempat yang biasa anak-menantu beserta cucu-cucunya kunjungi berjarak dua jam berkendara mobil dari rumah Bu Supardjo, tempat ini memang menjadi objek wisata nomor satu di pulau Jawa, bahkan mungkin menjadi tempat wisata nomor dua di Indonesia setelah Pulau Dewata Bali.
Bila anak-menantu, dan cucu-cucu Bu Supardjo datang, Bu Supardjo selalu menyediakan hal-hal yang istimewa untuk mereka. Mbo Minah, Pa Tresno, kedua anaknya dan cucunya sudah jauh-jauh hari membantu menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan untuk menyambut anak-menantu dan cucu-cucu Bu Supardjo, kedatangan mereka ibarat datangnya Putra Mahkota dan Putri Kerajaan beserta para Pangeran. Hari-hari yang mereka lalui di rumah Bu Supardjo, dilayani dengan setia oleh Mbo Minah dan Pa Tresno, terkadang si Nok dan Si Tole pun membantu membereskan rumah yang “berantakkan” akibat kedatangan mereka. Belum pernah setiap kedatangan anak-menantu beserta cucu-cucu Bu Supardjo terlihat makan atau sekedar beramah tamah bersama dengan keluarga Pa Tresno, ya mungkin inilah yang namanya “perbedaan, tetap perdedaan”.
Tak terasa, jelang dua bulan ke depan hari raya itu datang lagi, terpikir di benak Bu Supardjo untuk cepat-cepat menyelesaikan sulaman bunga lotusnya agar dapat terpakai untuk digunakan sebagai taplak meja di ruang keluarga. Seperti biasa, Bu Supardjo telah mempersiapkan segala sesuatunya. Seminggu datangnya hari raya Bu Supardjo menyuruh keluarga pa Tresno untuk merapihkan rumah, mencat kembali dan mengatur segala perabotan rumah tangga yang nanti akan digunakan oleh anak-menantu, dan cucu-cucunya itu.
“Salam dulu ke eyang”, “ko nga mau”, “sini eyang gendong, kan sudah lama nga kerumah eyang, eyang kangen...”
Hari yang ditunggu sudah tiba, keluarga besar Supardjo sudah tiba sejak sehari sebelum hari raya tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, anak-menantu, dan cucu-cucunya mengunjungi Bu Supardjo, dengan membawa cerita “keluh kesah” dan “kisah sukses” seorang pengusaha. Dari pakaian yang dipakai, sampai makanan yang dihidangkan, sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di rumah keluarga Tresno. Gaya bicara, pernak-pernik yang melekat pada cucu-cucu Bu Supardjo jauh sekali perbedaannya dengan gaya bicara dan pernak-pernik si Nok dan si Tole.
Sebuah Alphard, dua buah Hyundai, sebuah Xenia, dan sebuah Avanza mengantarkan delapan anak-menantu Keluarga Supardjo, sepuluh cucu-cucu bu Supardjo, empat Baby Sitter, dan lima supir. Rumah yang didiami oleh Bu Supardjo ini sangat besar dengan halaman yang besar pula, tentu saja selama keluarga Supardjo berada di rumah ini, begitu sibuk Mbo Minah sekeluarga melayani mereka semua.
Terasa hanya beberapa menit empat hari itu berlalu bagi Bu Supardjo, ketika barang terakhir dimasukkan dalam bagasi “Alphard”. Entah terasa berapa lama waktu empat hari itu bagi keluarga Tresno. Namun yang pasti bagi Bu Supardjo, ia sangat menantikan tahun didepannya, ia sangat merindukan datangnya hari raya itu lagi, dimana anak-menantu, beserta cucu-cucunya datang mengunjunginya.
Memerlukan waktu tiga hari untuk membenahi dan mengembalikan semua barang seperti semula, seperti sebelum kedatangan “para bangsawan” dari Jakarta. Ada beberapa sisa-sisa piring-gelas yang pecah, si Tole dan si Nok memungguti pernak-pernik mainan cucu-cucu Bu Supardjo yang masih berserakan di tiap ruangan, nampaknya Pa Tresno harus men-cat ulang bagian-bagian dinding yang di jadikan “lukisan tanpa makna dan bentuk” karya cucu-cucu Bu Supardjo, anak-menantu Mbo Minah turut serta membereskan sprei dan selimut untuk di cuci, sedangkan Bu Supardjo nampak terlelap di kursi goyangnya, sangat lelah mungkin itu yang dialaminya.
Nampak dari kaca rumah tua itu, seorang wanita tua sedang duduk di sebuah kursi goyang, wanita itu sedang termenung di kursi goyangnya, kadang ia terlihat sangat serius, ia tidak lagi sedang menyulam Bunga Lotus, ia sedang membalik halaman pada album foto yang ada dipangkuannya, kenangan ini mengapa tak pernah berlalu dan sirnah.
“Bu, ta pijitan ya...” si Nok berujar sambil memijat tangan Bu Supardjo. Tole dengan kesederhanaanya ia memandangi mbanya yang sedang memijat Bu Supardjo. Si Tole ini ketika cucu-cucu Bu Supardjo ada, ia tidak berani berada diruangan lain, selain menemani Mbo Minah di dapur, tidak seperti cucu-cucu Bu Supardjo yang seusia dengannya yang asik bermain dengan “jet tempur remote control”. Terkadang si Tole hanya memandangi dari jauh.
Entah berapa lama si Nok memijak Bu Supardjo.
“Na...sudah tidur, besok harus sekolah”, “sudah tidur disini saja!”.
Belum sempat si Nok berkata, Bu Supardjo beranjak dari tempat tidurnya dan dengan tenaga tuanya menggendong si Tole yang nampak sudah lelap tertidur, ia memindahkan si Tole ke ranjangnya, si Nok pun nampak seperti orang yang kebingungan.
Sebelum tidur si Nok sempat berujar “ Bu, boleh ajarin cara menyulam, sulaman Ibu yang ada di meja depan sangat bagus, Nok juga ingin belajar nyulam seperti Ibu.”
Bu Supardjo terdiam, ia memeluk si Nok “mulai besok aku ajarin ya...” Linangan air mata yang memecahkan kristal perbedaan, mungkin terbesit dibenaknya ini pertama kali ia mengeluarkan air mata untuk orang yang bukan siapa-siapa bagi dirinya, tapi orang pertama yang mengomentari dan mengagumi sulaman Bunga Lotus, rasa kagum bukan datang dari anak-menantu dan cucu-cucunya, tapi datang dari cucu seorang pembantu.
Malam pertama, dimana si Tole dan si Nok seakan-akan menjadi “sederajat”, tidur di kasur nan “empuk” dan leluasa ditemani belaian dan nyanyian “ibu suri”.
“Pagi buta”, Bu Supardjo meninggalkan si Nok dan Si Tole yang masih tertidur pulas, nampak ia begitu tergesa-gesa.
Mbo Minah telah tiba di rumah Bu Supardjo, seperti biasa ia langsung bergegas ke dapur untuk memasak, mbo Minah nampak kaget melihat tuannya sedang mengolah masakkan.
“Mbo, sudah biar aku yang masak” “Nanti siang Pa Tresno sama bapa-ibunya si Nok suruh kesini ya Mbo”
Meja makan bersulam Bunga Lotus, peralatan makan kaum bangsawan, cukup membuat keheningan bagi keluarga kecil Tresno. Inilah kali pertama Pa tresno dan keluarga dapat makan dan minum bersama tuannya.
Bagi Bu Supardjo datangnya hari raya menjadi bagian yang dinanti, bila berlalu hari raya itu ia tak perlu risau karena Sang Khalik telah menghadirkan kerinduan dalam kesendiriannya.
Nampak dari kaca rumah tua besar itu, seorang wanita muda nan menawan sedang duduk di sebuah kursi goyang, wanita itu pun terlihat asik di kursi goyangnya, kadang ia terlihat sangat serius, mungkin ada bagian bentuk sulaman yang tersulit dari bunga lotus.
“Mba...hari ini kita pergi tabur bunga kan...?”
....................................................................................................................................................................
Kisah Inspirasi “Kursi Goyang Sang Penyulam Lotus” merupakan karya tulis bertema Aksi untuk Indonesiaku diikut sertakan di situs http://www.lintas.me/ merupakan ide asli kisah inspirasi yang ditulis langsung oleh owner http://westjava27.blogspot.com. Bila melakukan copy paste dan menyebarluaskannya harap mencantumkan sumbernya. Walau pun kisah inspirasi “Kursi Goyang Sang Penyulam” belum memiliki hak cipta paten, diharapkan para pengunjung blog menghargai karya seseorang dengan tidak melakukan tindakan “plagiat”. Nama-nama orang, tempat, gambar, hanya berupa ilustrasi belaka, dan bukan sebenarnya.
Baca juga Kisah Inspirasi lainnya:
MENANTU“BILL GATES”
MENYELAMATKANBULAN
HIDUPADALAH KENYATAAN YANG HARUS DIJALANI
2012
TuhanMinta Pin BB nya Dong Aku Mau Cerita
KURSIGOYANG SANG PENYULAM LOTUS
PesonaGunung Gede
Inspirasidari Muhamad Ali
SEBUAHPELAJARAN DARI PAKIS DAN BAMBU
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KURSI GOYANG SANG PENYULAM LOTUS
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://westjava27.blogspot.com/2012/06/kursi-goyang-sang-penyulam-lotus.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment