Dalil Pembunuhan Massal
Tuesday, October 6, 2015
0
komentar
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
JOHN ROOSA
Dalih Pembunuhan Massal:
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
Buku ini pertama kali
diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul
Pretext
for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in
Indonesia
©2006 The University of
Wisconsin Press, Madison, USA
Pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan
dalam bahasa Indonesia seizin penerbit asli oleh Institut Sejarah Sosial
Indonesia bekerjasama dengan Hasta Mitra pada Januari 2008.
Penerjemah : Hersri
Setiawan
Penyunting: Ayu Ratih dan
Hilmar Farid
Penyelaras bahasa: M.
Fauzi dan Th. J. Erlijna
Desain sampul dan tata
letak: Alit Ambara
Foto sampul: Corbis
Institut Sejarah Sosial
Indonesia
Jalan Pinang Ranti No. 3
Jakarta 13560
Email: issi@cbn.net.id
Hasta Mitra
Jalan Duren Tiga Selatan
No. 36 Jakarta Selatan
Email: yusak@cbn.net.id
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
John Roosa,
Dalih Pembunuhan Massal
Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto, Cetakan 1 Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra,
2008 xxiv+392 hlm; 16 cm x 23 cm
ISBN: 978-979-17579-0-4
untuk orangtua saya
DAFTAR ISI
Daftar
Ilustrasi
|
vii
|
Sekapur
Sirih
|
xi
|
Kata
Pengantar edisi Bahasa Indonesia
|
xv
|
Pendahuluan
|
3
|
I.
Kesemrawutan Fakta-Fakta
|
52
|
II.
Penjelasan tentang G-30-S
|
90
|
III.
Dokumen Supardjo
|
122
|
IV.
Sjam dan Biro Chusus
|
169
|
V.
Aidit, PKI, dan G-30-S
|
199
|
VI. Suharto, Angkatan Darat, dan Amerika Serikat
|
250
|
VII.
Menjalin Cerita Baru
|
291
|
Lampiran-lampiran
1. Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja “G-30-S” Dipandang
dari Sudut Militer (1966),
oleh
Brigadir Jenderal Supardjo
|
323
|
2.
Kesaksian Sjam (1967)
|
344
|
Daftar
Pustaka
|
362
|
Indeks
|
375
|
DAFTAR ILUSTRASI
PETA
1. Jakarta,
1965
2. Lapangan
Merdeka
3. Pangkalan
Angkatan Udara Halim dan Lubang Buaya
FOTO DAN KARTUN
1. Monumen
Pancasila Sakti
2. Detil
relief pada Monumen Pancasila Sakti
3. Museum
Pengkhianatan PKI
4. Detil
relief pada Monumen Pancasila Sakti
5. Supardjo
dan Ibu Supardjo, ca. 1962
6. Kartun
memperingati 20 tahun kemerdekaan nasional
7. Kartun
mendukung Gerakan 30 September
8. Kartun:
“Film minggu ini”
9. Kartun
anti-PKI
TABEL DAN FIGUR
1. Staf
Umum Angkatan Darat (SUAD)
2. Personil
Militer dan Sipil dalam Gerakan 30 September
3. Struktur
Organisasi PKI
SEKAPUR SIRIH
Saya mulai menulis tentang Gerakan 30 September saat menjadi penerima beasiswa pascadoktoral Rockefeller Foundation di Institute of International Studies di University of California-Berkeley, sebagai bagian dari Communities in Contention Program pada 2001-2002. Terima kasih kepada direktur lembaga, Michael Watts, yang telah memberikan saya suasana yang demikian hidup untuk belajar. Joseph Nevins adalah pembaca rumusan-rumusan awal pandangan saya. Kritiknya yang tajam pada saat makan siang di kafe-kafe di Berkeley menyadarkan saya bahwa menulis tentang Gerakan 30 September dalam bentuk karangan jurnal singkat tidak memadai untuk mengurai keruwetan-keruwetannya. Ulasan-ulasannya terhadap rancangan buku yang muncul belakangan sangat membantu saya dalam berpikir tentang penyajian argumen saya. Untuk berbagai-bagai bentuk bantuan di Bay Area, saya berterimakasih kepada Iain Boal, Nancy Peluso, Silvia Tiwon, Jeff Hadler, Hala Nassar, Mizue Aizeki, dan Mary Letterii.
Sidang pendengar di Center for Southeast
Asian Studies di Univer-sity of Wisconsin, Madison, pada akhir 2001 telah
mendengarkan uraian versi awal yang masih mentah dari buku ini. Saya ucapkan
terima kasih kepada semua yang hadir di sana, dan untuk ulasan-ulasan mereka
yang mendalam. Terima kasih juga untuk Alfred McCoy, yang bertahun-tahun lalu
pernah mengajar saya tentang bagaimana mempelajari masalah-masalah kemiliteran
dan kudeta, karena sudah mengundang saya memberi ceramah dan mendorong saya
menulis buku ini.
Sidang pendengar di Center for Southeast Asian Studies di Univer-sity of Wisconsin, Madison, pada akhir 2001 telah mendengarkan uraian versi awal yang masih mentah dari buku ini. Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang hadir di sana, dan untuk ulasan-ulasan mereka yang mendalam. Terima kasih juga untuk Alfred McCoy, yang bertahun-tahun lalu pernah mengajar saya tentang bagaimana mempelajari masalah-masalah kemiliteran dan kudeta, karena sudah mengundang saya memberi ceramah dan mendorong saya menulis buku ini.
Sesudah naskah awal saya diamkan selama dua tahun agar dapat menyelesaikan pekerjaan saya yang berkaitan dengan pengalaman para korban kekerasan massal 1965-66 di Indonesia, pada awal 2004 saat di University of British Columbia saya kembali ke naskah tersebut. Saya menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di jurusan sejarah, Steven Lee yang memberikan ulasan terhadap rancangan keseluruhan buku, dan Erik Kwakkel untuk bantuannya dalam hal kata-kata Belanda. Terima kasih pula kepada Brad Simpson dari University of Maryland, yang membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi pemerintah Amerika Serikat mengenai Indonesia; dan David Webster, lulusan program doktoral dari University of British Columbia, yang membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi pemerintah Kanada.
Saya sangat berutang budi kepada dua pengulas tanpa nama yang dengan murah hati telah memberikan pujian mereka bahkan sesudah mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengoreksi sangat banyak kesalahan dalam naskah saya dan mengajukan bantahan terhadap uraian-uraian saya. Saya harap kesabaran mereka ketika menulis-kan ulasan-ulasan yang sedemikian kritis dan rinci itu telah saya imbangi dengan perbaikan-perbaikan yang akan mereka temukan dalam buku ini.
Sejak awal 2000 saya melakukan penelitian tentang peristiwa 1965-66 dengan sekelompok peneliti yang tergabung dalam Jaringan Kerja Budaya di Jakarta. Buku ini tumbuh dari penelitian kami bersama dan pendirian lembaga kami, Institut Sejarah Sosial Indonesia. Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan berikut ini kiranya tidak layak, oleh karena buku ini sebagian merupakan milik mereka, yaitu: Hilmar Farid, Agung Putri, Razif, Muhammad Fauzi, Rinto Tri Hasworo, Andre Liem, Grace Leksana, Th .J. Erlijna, Yayan Wiludiharto, Alit Ambara, B.I. Purwantari, dan Pitono Adhi. Dua penggembala para budayawan muda di Garuda, Dolorosa Sinaga dan Arjuna Hutagalung, telah memberikan ruang kerja untuk penelitian kami dan ruang terbuka yang teduh di tengah-tengah megalopolis yang hiruk-pikuk sebagai tempat kami bersantai. Johan Abe dan Maryatun terus memberi bantuan tanpa kenal lelah.
Pasangan hidup saya selama tiga belas tahun terakhir, Ayu Ratih, telah memandu saya dalam menulis sejarah Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa penulisan sejarah hanyalah satu bagian dari kehidupan aktif yang berjalinan erat dengan kehidupan banyak orang lain. Saya beruntung sudah berada sangat dekat dengan suri teladan sikap kritis dan hangat dalam berhubungan dengan dunia ini.
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA
Saya mengantar terjemahan buku saya dengan sedikit kebimbangan. Mengacu kepada surat keputusan Jaksa Agung setahun lalu, buku-buku teks sejarah yang tidak mencantumkan akhiran “/PKI” setelah singkatan G-30-S harus dibakar. Buku ini tidak menggunakan akhiran tersebut. Tak akan ada gunanya menulis buku ini seandainya saya menambahkan “/PKI.” Akhiran tersebut mencerminkan jawaban terhadap pertanyaan tentang siapa yang mendalangi gerakan itu. Ia adalah simbol pernyataan: “PKI mendalangi G-30-S.” Apabila jawaban itu didukung oleh bukti-bukti tak tersangkal dan secara luas diterima sebagai fakta historis maka kita tidak perlu mengajukan pertanyaan tentang dalang lagi. Kita bisa tutup buku dengan G-30-S. Tapi banyak sejarawan yang belum menerima jawaban tersebut, atau jawaban lain, sebagai sesuatu yang fi nal, karena terdapat begitu banyak aspek yang aneh, tak erjelaskan
tentang G-30-S. Banyak orang Indonesia bingung dengan G-30-S dan berharap menemukan lebih banyak informasi tentangnya. Pemerintah dapat mencoba menulis sejarah dengan keputusan resmi. Tetapi memastikan bahwa setiap penyebutan G-30-S harus diikuti dengan “/PKI” tidak akan mencegah orang untuk bertanya-tanya tentang arti kedua istilah yang harus mereka kaitkan itu: Apa itu G-30-S? Apa itu PKI? Dan bentuk hubungan seperti apa antara kedua istilah yang ditandai dengan garis miring tersebut?
Ketika Suharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998 saya tidak membayangkan bahwa satu dekade kemudian pemerintah akan terus melarang buku-buku yang tidak sesuai dengan propaganda rezim yang lalu. Rezim Suharto mengklaim bahwa PKI bertanggung jawab atas G-30-S; partai itu memimpin atau mengorganisasikan G-30-S. Klaim serupa itu dapat diterima sebagai sebuah hipotesa tetapi kita seharusnya berharap diberi sejumlah bukti sebelum kita menerimanya sebagai kesimpulan. Kita juga harus berharap ada rumusan yang lebih persis. PKI adalah sebuah partai dengan anggota kurang lebih tiga juta orang. Kalau pemerintah berniat bersikukuh bahwa “PKI” mengorganisasikan G-30-S, maka pemerintah harus mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang mengorganisasikan gerakan tersebut. Apakah tiga juta anggota partai secara keseluruhan bertanggung jawab? Atau kah sebagian? Atau hanya pimpinan partai? Apakah pihak pimpinan itu Central Comite atau Politbiro? Sepanjang masa kepemimpinan Suharto pemerintah tidak pernah dengan telak mengidentifi kasi siapa di dalam PKI yang bertanggung jawab. Malahan, dengan secara terus-menerus menggunakan istilah “PKI” masyarakat digiring untuk percaya bahwa bukan hanya seluruh tiga juta anggota partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa pun yang berhubungan dengan partai, seperti para anggota organisasi-organisasi sealiran (seperti Lekra), bertanggung jawab.
Dokumen-dokumen internal rezim Suharto lebih terus terang. Kebetulan saya menemukan buku yang ditulis Lemhanas pada 1968 untuk pejabat-pejabat pemerintah yang persis mengajukan pertanyaan-
pertanyaan di atas. Buku 80 halaman ini ditulis dalam bentuk tanya-jawab. Berikut satu bagian tentang tanggung jawab “PKI”:
Pertanyaan: Apakah benar bahwa G-30-S/PKI yang menggerakkan adalah PKI dan apakah setiap anggota PKI tentu terlibat dalam G-30-S/PKI?
Jawab: Benar
a. bahwa G-30-S/PKI digerakkan oleh PKI telah dapat dibuktikan baik secara fakta maupun secara hukum di depan sidang-sidang Mahmilub yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI.
b. Seluruh anggota PKI dapat dianggap terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung (setiap orang berkewajiban melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu kejahatan akan dilakukan dan juga sesuai dengan prinsip organisasi PKI bahwa keputusan pimpinan partai, mengikat seluruh anggota). 1
Saya tidak puas dengan kedua poin jawaban itu. Poin pertama, persidangan-persidangan Mahmilub tidak membuktikan bahwa PKI mendalangi G-30-S. Kesaksian-kesaksian terdakwa dan saksi-saksi merupakan timbunan ketidakajegan. Para penuntut tidak mengajukan bukti-bukti tandas kesalahan “PKI” dan para hakim tidak membutuhkannya; mereka memulai prosiding peradilan dengan kepercayaan (yang telah dipropagandakan Angkatan Darat) bahwa “PKI” bersalah. Seperti diamati Harold Crouch saat mengulas beberapa berkas rekaman persidangan Mahmilub pada awal 1970-an, orang dapat dengan mudah menyimpulkan dari berkas-berkas tersebut bahwa sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas memimpin G-30-S dan mengajak beberapa pimpinan PKI untuk membantu mereka. 2
Poin kedua jawaban Lemhanas sama mudah disangkal. Tuduhannya adalah bahwa seluruh tiga juta anggota partai mengetahui tentang G-30-S sebelumnya dan bersalah karena pengabaian (“tidak melaporkan pada penguasa”). Tuduhan ini tidak mungkin benar: saluran-saluran informasi di dalam partai tidak sedemikian ketat sehingga tiga juta orang dapat mengetahui sesuatu yang orang lain, termasuk agen-agen intelijen kunci di dalam Angkatan Darat, tidak tahu. Selain bersalah karena pengabaian, mereka bersalah karena keterkaitan; sebagai anggota partai, mereka bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil para pimpinan (“keputusan pimpinan partai mengikat seluruh anggota”). Itulah prinsip kesalahan kolektif – sebuah prinsip yang sudah ditolak oleh semua negara di dunia berdasarkan rule of law.
Sebelum 1965 pemerintah Indonesia tidak pernah menimpakan kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Kaum nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan pada 1945-49 tidak membunuh orang-orang Belanda hanya karena mereka orang Belanda. Setelah pemberontakan PRRI/Permesta pada akhir 1950-an pemerintah Sukarno melarang PSI dan Masjumi karena pemimpin-pemimpin kedua partai mendukung pemberontakan-pemberontakan tersebut. Tetapi pemerintah Sukarno tidak menyatakan bahwa semua anggota kedua partai adalah pengkhianat; pemerintah tidak menahan dan/atau membunuh orang hanya karena mereka anggota PSI atau Masjumi. Sukarno mengampuni pemberontak-pemberontak Darul Islam – orang-orang yang memang mengangkat senjata untuk melawan pemerintah – kecuali pimpinan-pimpinan puncaknya. Bayangkan seandainya prinsip kesalahan kolektif diterapkan pada anggota-anggota Golkar dewasa ini: haruskah setiap anggota Golkar pada masa Orde Baru diminta bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan Suharto?
Satu aspek yang tidak bermanfaat dalam debat tentang G-30-S di Indonesia adalah kecenderungan untuk menggolongkan posisi apa pun apakah sebagai pro-PKI atau anti-PKI. Siapapun yang tidak menyetujui penahanan dan pembunuhan massal atau menunjukkan simpati terhadap tahanan politik dianggap sebagai pendukung PKI. Pipit Rochiat keberatan dengan kecenderungan ini dalam esai yang ditulisnya pada 1984 “Saya PKI atau Bukan PKI?.” 3 Menciptakan dikotomi serupa itu sama dengan mengabaikan kemungkinan posisi seperti yang diperlihatkan Rochiat, yaitu tidak membela aksi-aksi PKI sebelum 1965, tidak juga membenarkan kekerasan massal yang diarahkan kepada PKI setelah G-30-S. Kekerasan tersebut mencerminkan bencana kemanusiaan. Saya dapat memahami seandainya seseorang mengambil sikap antagonistik terhadap PKI sebelum 1965: PKI adalah partai yang berniat mendirikan negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus baku, yang menggalang pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-organisasi pesaingnya. Tapi saya tidak dapat mengerti bagaimana orang dapat membenarkan cara partai tersebut ditindas: kebohongan-kebohongan propaganda negara untuk memicu kekerasan, penangkapan massal tanpa dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan berkepanjangan tanpa pengadilan, penghilangan paksa dan pembunuhan kilat. Sekarang, setelah 40 tahun berlalu, kita seharusnya sudah mampu berhenti berpikir semata-mata dalam kerangka dikotomis tentang peristiwa-peristiwa tersebut, seakan-akan tiap kritik terhadap kisah resmi rezim Suharto hanya dapat didorong oleh kecintaan terhadap PKI.
Sudah saatnya pula untuk berhenti berpikir mengikuti stereotip-stereotip basi. Sepanjang kekuasaan Suharto PKI digambarkan sebagai momok jahat sehingga tidak mungkin memahami bagaimana partai itu pernah menjadi demikian populer, dengan jutaan anggota dan simpatisan. Bagaimana mungkin sebegitu banyak orang Indonesia dihujat sebagai iblis? Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota-anggota PKI sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia.
Jika kita bersedia berpikir jernih tentang pertanyaan siapa yang bertanggung jawab atas G-30-S maka kita harus menelisik apa yang sesungguhnya terjadi pada awal Oktober 1965. Benarkah gerakan itu merupakan pemberontakan setiap orang di dalam PKI? Benarkah gerakan itu merupakan percobaan kudeta? Rezim Suharto bersikukuh bahwa G-30-S adalah keduanya: pemberontakan dan percobaan kudeta. Bab satu buku ini mencoba merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang terjadi pada beberapa hari pertama Oktober 1965 tanpa ada kesimpulan sebelumnya. Saya menulis bab ini supaya paparannya cocok dengan salah satu dari empat penjelasan yang saya ulas di bab 2. Informasi dasar yang disajikan pada bab 1 mengungkap bahwa G-30-S aneh; beberapa aspek memberi kesan gerakan ini merupakan percobaan kudeta, aspek-aspek lain tidak menunjukkan adanya kudeta. Narasi apapun yang memuaskan tentang kejadian-kejadian pada awal Oktober 1965 pertama-tama harus mengakui keganjilan-keganjilan ini, kemudian mencoba menjelaskannya.
Satu masalah yang saya perhatikan di dalam kebanyakan buku tentang G-30-S bersifat metodologis. Biasanya, seorang penulis mulai dengan sebuah kesimpulan tentang siapa yang bertanggung jawab atas G-30-S (PKI, Sukarno, Suharto, dst.), lalu menimbang penjelasan-penjelasan alternatif yang mungkin sebelum menyimpulkan bahwa hipotesanya benar. Sejarawan tidak bekerja dengan cara seperti yang digunakan ilmuwan pengetahuan alam – tingkah laku manusia dan peristiwa-peristiwa sosial tidak diatur oleh hukum-hukum alam – tetapi mereka kadang-kadang mengikuti beberapa prinsip fundamental yang sama. Satu prinsip adalah menghindari untuk memulai suatu penelitian dengan kesimpulan-kesimpulan di tangan. Kita tak akan pernah menemukan sesuatu yang baru dengan cara seperti ini.
Masalah besar lain yang muncul dalam kepustakaan yang sudah ada adalah kurangnya penilaian kritis terhadap sumber-sumber yang digunakan. Dalam hal G-30-S, sumber-sumbernya memang secara khusus bermasalah. Transkrip interogasi (Berita Acara Pemeriksaan atau Proses Verbal) dan kesaksian di pengadilan militer – dua jenis sumber yang sering digunakan dalam buku-buku tentang G-30-S – tidak dapat dikatakan andal atau pun ajeg. Seorang sejarawan selalu harus berpikir tentang konteks tempat sumber-sumber diproduksi dan mengajukan pertanyaan yang sangat penting: bagaimana seseorang yang mengklaim tahu sesuatu sesungguhnya tahu tentang hal itu?
Salah satu sumber yang paling andal tentang G-30-S adalah Visum et Repertum yang dilakukan para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto terhadap jazad tujuh perwira yang ditemukan di Lubang Buaya. Justru sumber inilah yang tidak diumumkan oleh pemerintah Suharto. Salinan laporan visum tersembunyi hingga 1980-an, ketika dokumen itu ditemukan seorang ilmuwan dari Cornell University. 4 Dari laporan ini kita cukup tahu bahwa apa yang dilaporkan di media yang dikontrol Angkatan Darat pada akhir 1965 tentang bagaimana para perwira dibunuh ternyata palsu. Para perwira tersebut terbunuh oleh tembakan dan luka-luka tusukan bayonet; mereka tidak diiris-iris ribuan kali dengan silet, mata mereka tidak dicungkil, dan mereka tidak pula dimutilasi. Jika kita berpegang pada laporan para dokter, seperti yang saya pikir seharusnya demikian, maka kita harus berasumsi bahwa kisah-kisah tentang penyiksaan para perwira merupakan bagian dari propaganda perang urat syaraf Angkatan Darat terhadap PKI. Kita juga harus mempertimbangkan kisah-kisah apa tentang G-30-S dari rezim Suharto yang palsu dan dokumen-dokumen lain mana yang telah disembunyikan dari penglihatan kita.
Ketiadaan penilaian kritis terhadap sumber-sumber sudah menggiring berbagai macam artikel dan buku yang menyajikan argumen-argumen berdasarkan kisah-kisah palsu oleh propagandis, dokumen-dokumen palsu, dan spekulasi besar-besaran. Misalnya, tidak kurang dari tiga buku yang baru saja diterbitkan mengklaim bahwa Presiden Sukarno entah adalah sang dalang atau salah satu dari sekian dalang G-30-S. 5 Klaim ini tidak berdasar dan absurd. Pada saat menulis buku ini saya berpikir bahwa klaim tersebut bahkan tidak layak ditanggapi. Tak ada bukti untuknya. Penerbitan ketiga buku ini mendorong saya untuk menulis sangkalan rinci terhadap klaim yang dibuat sebagai esai ulasan untuk sebuah jurnal akademik. 6
Saya harus menekankan bahwa buku ini hanya tentang G-30-S. Ini bukan buku tentang kekerasan massal yang muncul setelah gerakan itu terjadi walaupun di bagian pengantar saya sampaikan beberapa argumen dasar tentang kekerasan tersebut dan kaitannya dengan G-30-S. Saya beranggapan bahwa lebih banyak penelitian harus dilakukan tentang kekerasan massal pasca G-30-S sebelum sebuah analisis ilmiah yang baik bisa ditulis. Menimbang skalanya, kekerasan pasca G-30-S merupakan topik yang lebih penting daripada G-30-S itu sendiri. Buku ini diharapkan bermanfaat bagi penelitian lebih lanjut tentang kekerasan massal pasca G-30-S dengan menyajikan konteks baru untuk memahami tragedi tersebut. Jika G-30-S lebih jelas mungkin akan lebih mudah untuk memusatkan perhatian pada topik-topik lain yang berkaitan. Lebih banyak pula studi-studi yang perlu digarap tentang kudeta Suharto, misalnya, bagaimana ia mengambilalih media massa, keuangan negara, dan birokrasi sipil.
Saya berharap pembaca akan menghargai proses panjang yang menyertai pembuatan buku ini. Saya menduga beberapa pembaca tak terlalu paham bagaimana suatu buku diterbitkan oleh penerbit universitas. Saya menyerahkan manuskrip bakal buku ini ke University of Wisconsin Press pada 2004. Seorang editor di badan penerbitan ini membacanya dan menilai apakah manuskrip tersebut layak diterbitkan. Si editor mengirim manuskrip ke dua ahli sejarah Indonesia yang kemudian menulis ulasan mereka, menyampaikan penilaian apakah manuskrip ini layak diterbitkan, dan apabila layak, perubahan-perubahan apa yang harus dibuat. Tahap ini disebut ulasan oleh rekan anonim. Dengan demikian mereka dapat bersikap lebih terus terang dalam menyampaikan kritik mereka. Saya menerima ulasan tanpa nama ini kurang lebih enam bulan setelah saya menyerahkan manuskrip. Saya kemudian merevisi manuskrip untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diidentifikasi para pengulas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Saya menyerahkan manuskrip dengan revisi pada 2005. Badan penerbit menyewa seorang copy editor untuk memeriksa manuskrip, memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam ejaan, tata bahasa, atau tanda baca, dan mengusulkan perbaikan dalam hal gaya penulisan. Saya menghabiskan beberapa minggu pada akhir 2005 untuk berkorespondensi dengan copy editor tentang bermacam-macam masalah. Produk akhir dari proses ini baru diterbitkan pada September 2006.
Ketelitian serupa juga diberikan dalam proses penerjemahan. Setelah penerjemah utama menyelesaikan pekerjaannya, dua penerjemah ahli lainnya memeriksa manuskrip terjemahan kata demi kata dan mengusulkan perubahan. Versi akhir dari proses ini kemudian dikirimkan ke seorang copy editor yang berpengalaman. Baru setelah copy editor memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada, manuskrip dikirim ke pembaca naskah yang melakukan pengecekan tahap akhir. Proses panjang ini membuat banyak teman-teman kami frustrasi karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku ini. Tetapi kami pandang luar biasa penting untuk menghasilkan terjemahan yang secara tepat menyampaikan maksud dalam teks aslinya dan sesedikit mungkin mengandung kesalahan-kesalahan tipografis.
Dalam jangka waktu satu setengah tahun setelah edisi bahasa Inggris buku ini diterbitkan saya telah belajar lebih banyak tentang G-30-S. Namun, saya menolak godaan untuk menambahkan pengetahuan baru apa pun ke edisi ini. Saya berharap beberapa tahun lagi, begitu saya mengumpulkan lebih banyak informasi dan mendengar dari lebih banyak pembaca, saya akan siap menerbitkan suatu artikel yang menjabarkan argumen-argumen di dalam buku ini.
CATATAN
1 Lembaga Ketahanan Nasional, Bahan-Bahan Pokok G-30-S/PKI dan Penghancurannya, bagian kedua (Maret 1969), 17-18. Edisi yang saya miliki adalah salinan yang dibuat pada 1982. Seperti dinyatakan pada halaman judul, edisi ini “disalin sesuai dengan aslinya oleh Sekretaris Pokja Balat Lemhannas.”
2 Crouch, “Another Look At the Indonesian Coup,” Indonesia no. 15 (April 1973)
3 Diterbitkan dalam majalah mahasiswa Indonesia di Berlin Barat, Gotong Royong (Maret 1984).
4 Benedict Anderson, “How did the Generals Die?,” Indonesia no. 43 (April 1987). Catatan Prof. Anderson tentang tanggapan rezim Suharto terhadap analisisnya tentang G-30-S dan pencekalan dirinya dari Indonesia layak dibaca kalangan yang lebih luas: “Scholarship on Indonesia and Raison d’État: Personal Experience,” Indonesia no. 62 (October 1996). Artikel lain yang juga berharga adalah: “Indonesian Nationalism Today and in the Future,” Indonesia no. 67 (April 1999).
5 Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 2004 (New Delhi: Abhinav, 2004); Antonie C.A. Dake, Th e Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (Leiden:Brill, 2006); Helen-Louise Hunter, Sukarno and the Indonesian Coup: Th e Untold Story (Wesport: Praeger, 2007).
6 “Sukarno and the September 30 th Movement,” Critical Asian Studies 40: 1 (March 2008).
Kebenaran tentang perebutan
kekuasaan tidak boleh dibikin jelas; pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi
kemudian menjadi masuk akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap
sah dan abadi; adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika kita
tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir. Blaise
Pascal, Pensées (1670)
Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia
modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah justru karena
kejadian yang paling misterius ternyata merupakan salah satu babak kejadian
yang terpenting. Pada dini hari 1 Oktober 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan
Jenderal Ahmad Yani dan lima orang staf umumnya diculik dari rumah-rumah mereka
di Jakarta, dan dibawa dengan truk ke sebidang areal perkebunan di selatan
kota. Para penculik membunuh Yani dan dua jenderal lainnya pada saat
penangkapan berlangsung. Tiba di areal perkebunan beberapa saat kemudian pada
pagi hari itu, mereka membunuh tiga jenderal lainnya dan melempar enam jasad
mereka ke sebuah sumur mati. Seorang letnan, yang salah tangkap dari rumah
jenderal ketujuh yang lolos dari penculikan, menemui nasib dilempar ke dasar
sumur yang sama. Pagi hari itu juga orang-orang di balik peristiwa pembunuhan
ini pun menduduki stasiun pusat Radio Republik Indonesia (RRI), dan melalui
udara menyatakan diri sebagai anggota pasukan yang setia kepada Presiden
Sukarno.
Adapun tujuan aksi yang
mereka umumkan ialah untuk melindungi Presiden dari komplotan jenderal kanan
yang akan melancarkan kudeta. Mereka menyebut nama pemimpin mereka, Letnan
Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa, yang
bertanggung jawab mengawal Presiden, dan menamai gerakan mereka Gerakan 30
September (selanjutnya disebut sebagai G-30-S). Dalam sebuah unjuk kekuatan,
ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki Lapangan Merdeka (sekarang Lapangan
Monas) di pusat kota. Lalu pada sore dan petang hari 1 Oktober, seperti
menanggapi isyarat dari Jakarta, beberapa pasukan di Jawa Tengah menculik lima
perwira pimpinan mereka.
Kesulitan memahami G-30-S antara lain
karena gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia
mengetahui keber-adaannya. Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya.
Dengan tidak adanya Yani, Mayor Jenderal Suharto mengambil alih komando
Angkatan Darat pada pagi hari 1 Oktober, dan pada petang hari ia melancarkan serangan
balik. Pasukan G-30-S meninggalkan stasiun RRI dan Lapangan Merdeka yang sempat
mereka duduki selama dua belas jam saja. Semua pasukan pemberontak akhirnya
ditangkap atau melarikan diri dari Jakarta pada pagi hari 2 Oktober. Di Jawa
Tengah, G-30-S hanya bertahan sampai 3 Oktober. Gerakan 30 September lenyap
sebelum anggota-anggotanya sempat menjelaskan tujuan mereka kepada publik.
Pimpinan G-30-S bahkan belum sempat mengadakan konferensi pers dan tampil
memperlihatkan diri di depan kamera para fotografer.
Kendati bernapas pendek, G-30-S mempunyai
dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan
Sukarno, sekaligus bermulanya masa kekuasaan Suharto. Sampai saat itu Sukarno
merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka selama dua
dasawarsa lebih, yaitu dari sejak ia bersama pemimpin nasional lain, Mohammad
Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia satu-satunya presiden
negara-bangsa baru itu. Dengan karisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya
yang menggelora, ia tetap sangat populer di tengah-tengah semua kekacauan
politik dan salah urus perekonomian pascakemerdekaan. Sampai 1965 kedudukannya
sebagai presiden tidak tergoyahkan. Sebagai bukti popularitasnya, baik G-30-S
maupun Mayor Jenderal Suharto berdalih bahwa segala tindakan yang mereka
lakukan merupakan langkah untuk membela Sukarno. Tidak ada pihak mana pun yang berani
memperlihatkan pembangkangannya terhadap Sukarno.
Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih
untuk merongrong legitimasi Sukarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi
kepresi-denan. Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Suharto secara bertahap,
yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah selubung
usaha untuk mencegah kudeta. Kedua belah pihak tidak berani menunjukkan
ketidaksetiaan terhadap presiden. Jika bagi Presiden Sukarno aksi G-30-S itu
sendiri disebutnya sebagai “riak kecil di tengah samudra besar Revolusi
[nasional Indonesia],” sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan
tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, bagi
Suharto peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang
menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno.1 Suharto menuduh Partai Komunis
Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian
terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Tentara Suharto menangkapi
satu setengah juta orang lebih. Semuanya dituduh terlibat dalam G-30-S.2 Dalam salah satu pertumpahan
darah terburuk di abad keduapuluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat
dan milisi yang berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Bali, dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966.3 Dalam suasana darurat nasional
tahap demi tahap Suharto merebut kekuasaan Sukarno dan menempatkan dirinya
sebagai presiden de facto (dengan wewenang memecat dan mengangkat para
menteri) sampai Maret 1966. Gerakan 30 September, sebagai titik berangkat
rangkaian kejadian berkait kelindan yang bermuara pada pembunuhan massal dan
tiga puluh dua tahun kediktatoran, merupakan salah satu di antara
kejadian-kejadian penting dalam sejarah Indonesia, setara dengan pergantian
kekuasaan negara yang terjadi sebelum dan sesudahnya: proklamasi kemerdekaan
Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, dan lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998.
Bagi kalangan sejarawan, G-30-S tetap merupakan misteri. Versi resmi rezim Suharto – bahwa G-30-S adalah percobaan kudeta PKI – tidak cukup meyakinkan. Sukar dipercaya bahwa partai politik yang beranggotakan orang sipil semata-mata dapat memimpin sebuah operasi militer. Bagaimana mungkin orang sipil dapat memerintah personil militer untuk melaksanakan keinginan mereka? Bagaimana mungkin
sebuah partai yang terorganisasi dengan baik, dengan reputasi sebagai partai
yang berdisiplin tinggi, merencanakan tindak amatiran semacam itu? Mengapa
partai komunis yang dipimpin prinsip-prinsip revolusi Leninis mau berkomplot
dalam putsch oleh sepasukan tentara? Mengapa partai politik yang sedang
tumbuh kuat di pentas politik terbuka memilih aksi konspirasi? Agaknya tak ada
alasan ke arah sana. Di pihak lain, sukar dipercaya bahwa G-30-S – seperti
dinyatakannya dalam siaran radio yang pertama – “semata-mata dalam tubuh
Angkatan Darat,” karena memang ada beberapa tokoh PKI yang jelas ikut memimpin
G-30-S bersama beberapa orang perwira militer. Sejak hari-hari pertama Oktober
1965, masalah siapa dalang di belakang peristiwa ini telah menjadi perdebatan
yang tak kunjung reda. Apakah para perwira militer itu bertindak sendiri,
sebagaimana yang mereka nyatakan, dan kemudian mengundang atau bahkan menipu
beberapa tokoh PKI agar membantu mereka? Ataukah, justru PKI yang menggunakan
sementara perwira militer ini sebagai alat pelaksana rencana mereka,
sebagaimana yang dikatakan Suharto? Atau, adakah semacam modus vivendi
antara para perwira militer tersebut dan PKI?
Perdebatan juga timbul di sekitar hubungan
Suharto dengan G-30-S. Bukti-bukti tidak langsung memberi kesan bahwa para
perencana G-30-S setidaknya mengharapkan dukungan Suharto; mereka tidak
mencan-tumkan Suharto dalam daftar jenderal yang akan diculik, dan juga tidak
menempatkan pasukan di sekeliling markasnya. Dua perwira di antara pimpinan
G-30-S adalah sahabat-sahabat pribadi Suharto. Salah seorang, yaitu Kolonel
Abdul Latief, mengaku memberi tahu Suharto tentang G-30-S sebelumnya dan
mendapat restu darinya secara diam-diam. Benarkah Suharto sudah diberitahu
sebelumnya? Informasi apa yang diberikan G-30-S kepadanya? Apa tanggapan
Suharto terhadap informasi itu? Apakah ia menjanjikan dukungan atau melangkah
lebih jauh dan membantu merencanakan operasi G-30-S? Apakah ia dengan licik
menelikung G-30-S agar dapat naik ke tampuk kekuasaan?
Sampai sekarang dokumen utama yang
ditinggalkan oleh G-30-S hanyalah empat pernyataan yang disiarkan RRI pusat
pada pagi dan siang hari 1 Oktober 1965. Pernyataan-pernyataan itu menampilkan
wajah G-30-S di depan publik dan tentu saja tidak mengungkap peng- organisasian di balik layar dan tujuan yang mendasarinya.
Sesudah ter-tangkap, para pimpinan kunci G-30-S tidak mengungkap banyak hal.
Kesaksian mereka di depan pengadilan yang dikenal sebagai Mahkamah Militer Luar
Biasa (Mahmilub) lebih mencerminkan keterdesakan sangat untuk menolak segala
dakwaan, ketimbang menjelaskan secara rinci tentang bagaimana dan mengapa
G-30-S dilancarkan. Para terdakwa, dapat dimengerti, memilih tutup mulut,
berbohong, tidak sepenuh-nya berkata benar, dan menghindar demi melin-dungi
diri sendiri dan kawan-kawan mereka, atau melempar kesalahan kepada orang lain.
Baik penuntut umum maupun hakim tidak ambil pusing untuk mengorek
kesaksian-kesaksian mereka yang saling bertentang-tentangan; pengadilan memang
tidak dimaksudkan untuk menyelidiki kebenaran atas peristiwa tersebut. Semua
hanyalah pengadilan sandiwara belaka. Tidak satu orang pun yang dibawa ke
Mahmilub dibebaskan dari tuntutan. Dari lima orang pimpinan utama G-30-S,
kecuali satu orang, semuanya dinyata-kan terbukti berkhianat, dijatuhi hukuman
mati, dan dieksekusi oleh regu tembak, sehingga dengan demikian menutup setiap
kemungkinan mereka muncul kembali dengan keterangan baru yang lebih rinci dan
akurat tentang gerakan mereka.4
Satu-satunya pemimpin kunci G-30-S yang
lolos dari regu tembak, yaitu Kolonel Abdul Latief, menolak menjelaskan G-30-S
secara rinci. Ketika akhirnya diajukan ke depan pengadilan pada 1978, sesudah
bertahun-tahun dikurung dalam sel isolasi, ia juga tidak memanfaatkan
kesempatan itu untuk menjelaskan bagaimana mereka mengorganisasi G-30-S. Pidato
pembelaannya menjadi terkenal dan tersebar luas karena satu pernyataannya yang
mengejutkan bahwa ia telah memberi tahu Suharto tentang gerakan itu sebelumnya.
Arti penting pernyataan itu lalu menutupi kenyataan bahwa Latief tidak
menceritakan barang sedikit pun tentang G-30-S itu sendiri. Sebagian besar
pidato pembelaannya tercurah pada cekcok yang relatif remeh-temeh tentang
keterangan para saksi, atau pada penjelasan riwayat hidupnya untuk membuktikan
diri sebagai prajurit yang patriotik. Sesudah 1978, Latief tidak pernah
menyimpang dari pembelaannya dan juga tidak pernah mengurai lebih lanjut
pernyataan-pernyataannya. Bahkan juga sesudah dibebaskan dari penjara pada
1998, ia tidak memberikan keterangan baru satu patah kata pun.5
Gerakan 30 September
dengan begitu telah menghamparkan sebuah misteritak terpecahkan bagi para sejarawan. Bukti-bukti
yang terbatas adanya kebanyakan tidak dapat diandalkan. Angkatan Darat
merekayasa sebagian besar bukti ketika menyulut kampanye anti-PKI dalam
bulan-bulan setelah G-30-S, termasuk cerita tentang para pengikut PKI yang
menyiksa dan menyilet tubuh para jenderal sambil menari-nari telanjang.6 Terbitan-terbitan yang
didukung rezim Suharto bersandar pada laporan interogasi para tapol, yang
setidak-tidaknya beberapa di antara mereka telah disiksa atau diancam akan
disiksa. Banyak di antara korban teror militer yang selamat tetap takut untuk
berbicara terus terang dan jujur. Kedua belah pihak, baik yang kalah (para
peserta G-30-S) maupun yang menang (para perwira Suharto), tidak memberikan
keterangan yang layak dipercaya. Hampir semua kesaksian pribadi dan dokumen
tertulis dari akhir 1965 dan selanjutnya tampaknya sengaja dibuat untuk
menyesatkan, mengaburkan, atau menipu.
Oleh karena G-30-S dan pembasmiannya
merupakan tindakan-tindakan yang dirancang secara rahasia oleh para perwira
militer, agen intelijen, dan agen ganda, sumber-sumber informasi yang lazim
dipakai sejarawan – surat kabar, majalah, dokumen pemerintah, dan pamflet – tidak banyak membantu. Dalam buku teksnya tentang sejarah
Indonesia, Merle Ricklefs menulis bahwa “ruwetnya panggung politik” pada 1965
dan “banyaknya bukti-bukti yang mencurigakan” menyebabkan penyimpulan tegas
mengenai G-30-S hampir tidak mungkin.7 Rekan-rekannya sesama sejarawan asal Australia, Robert Cribb
dan Colin Brown, berpendapat bahwa “alur kejadian yang tepat” itu “diselubungi
ketidakpastian.” Menjelang G-30-S terjadi, “desas-desus, kabar burung, dan
penyesatan berita yang disengaja menyesaki udara.”8 Kebanyakan sejarawan yang
menulis mengenai Indonesia dan berusaha memecahkan misteri ini mengaku tidak
begitu yakin dengan penjelasan yang mereka tawarkan.
Gerakan 30 September adalah sebuah misteri
pembunuhan yang pemecahannya akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah
nasional Indonesia. Hal-hal yang dipertaruhkan dalam “kontroversi tentang
dalang” sungguh besar. Rezim Suharto membenarkan tindakan represi berdarahnya
terhadap PKI dengan menekankan bahwa partai itulah yang memulai dan mengorganisasi
G-30-S. Walaupun aksi-aksi pada 1 Oktober tersebut tak lebih dari pemberontakan
berskala kecil dan terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demonstrasi oleh
kalangan sipil, rezim Suharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan PKI
yang masif dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis. Gerakan 30 September
dilihatnya sebagai tembakan salvo pembuka dari PKI untuk sebuah revolusi
sosial. Dalam membangun ideologi pembenaran bagi kediktatorannya, Suharto
menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa dengan menumpas G-30-S. Rezim
Suharto terus-menerus menanamkan peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui
semua alat propaganda negara: buku teks, monumen, nama jalan, film, museum,
upacara per-ingatan, dan hari raya nasional. Rezim Suharto memberi dasar
pembe-naran keberadaannya dengan menempatkan G-30-S tepat pada jantung narasi
historisnya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak terperikan.
Pernyataan bahwa PKI mengorganisasi G-30-S, bagi rezim Suharto, bukan sekadar
fakta biasa; tetapi sang fakta sejarah mahabesar, yang menjadi sumber
pokok keabsahan rezimnya.
Di bawah Suharto, antikomunisme menjadi
agama negara, lengkap dengan segala situs, upacara, dan tanggal-tanggalnya yang
sakral. Para perwira Suharto mengubah situs pembunuhan tujuh perwira Angkatan
Darat di Jakarta pada 1 Oktober 1965, yaitu Lubang Buaya, menjadi tanah
keramat. Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung perunggu para perwira
yang tewas, semua berdiri setinggi manusia dengan sikap gagah dan menantang.
Pada dinding belakang deretan patung para perwira ditempatkan patung garuda
raksasa dengan sayap mengembang, burung khayali yang telah diangkat Indonesia
sebagai lambang kebangsaannya.
Di dinding seputar monumen
dengan tinggi sebatas tatapan mata rezim Suharto menetakkan relief dari
perunggu, mirip dengan lempengan-lempengan panjang melintang dari abad ke-9 di
Candi Borobudur. Jika pengunjung berjalan menyusuri dinding relief dari kiri ke
kanan, mereka akan melihat versi sejarah Indonesia pascakolonial yang
antikomunis. Dari pemberontakan Madiun 1948 sampai Gerakan 30 September 1965,
PKI selalu ditampilkan sebagai pemicu kekacauan. Relief itu menampilkan sebuah
kisah klasik tentang sang pahlawan (Suharto) yang mengalahkan penjahat keji
(PKI) dan menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Tepat di tengah dinding relief
digambarkan adegan perempuan-perempuan berkalung rangkaian bunga dan ber-
telanjang menari-nari mengitari seorang laki-laki yang tengah
melempar mayat perwira ke dalam sumur. Rekayasa perang urat syaraf yang sarat
dengan citra seks dan kekerasan demikian kuat dituangkan dalam logam kemudian
beroleh status sebagai fakta yang tak terbantahkan. Di depan dinding relief
tertera slogan: “Waspada ...... dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini
tidak terulang lagi.”
mengenai penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat
di Jakarta, dan menjadi tontonan wajib setiap tahun bagi anak-anak sekolah.
Film ini dimulai dengan sorotan berkepanjangan terhadap monumen itu, diiringi
pukulan ratapan genderang yang murung. Lubang Buaya ditanamkan dalam kesadaran
publik sebagai tempat PKI melakukan kejahatan besar.
Di samping Monumen Pancasila Sakti rezim
Suharto membangun Museum Pengkhianatan PKI pada 1990. Hampir semua dari 42
diorama di dalam museum itu, yang kaca-kacanya dipasang rendah agar anak-anak
sekolah yang berkunjung dapat melihatnya, menggambarkan babak-babak kekejaman
PKI dari 1945 sampai 1965. Apa yang dipelajari para pengunjung museum adalah
pelajaran moral sederhana: bahwa sejak kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya,
PKI bersifat antinasional, antiagama, agresif, haus darah, dan sadis.11 Museum itu tidak menawarkan
penjelasan tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang kepemilikan
pribadi dan kapitalisme; tidak ada sejarah mengenai sumbangan PKI dalam
perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda, atau kegiatan partai dalam
mengorganisasi buruh dan tani secara damai.12 Adegan-adegan kekerasan dirancang untuk meyakinkan pengunjung
tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap PKI di tengah kehidupan
berbangsa.
Bagi rezim Suharto, kejadian 1 Oktober 1965
menyingkap kebenaran tentang sifat PKI yang khianat dan antinasional. Ia
mendiskreditkan prinsip yang digalakkan Sukarno, yaitu Nasakom – akronim yang
menyatakan azas tritunggal nasionalisme, agama, dan komunisme – yang memberi
keabsahan bagi PKI sebagai komponen dasariah dalam perpolitikan Indonesia.
Rupa-rupanya G-30-S menandai adanya “pemutusan imanen” dengan (meminjam istilah
filsuf Prancis Alain Badiou) “pengetahuan yang telah dilembagakan,” dan
“meyakinkan” orang-orang yang akan menjadi setia kepada kebenaran gerakan
tersebut. Seperti dinyatakan Badiou, “Bersetia kepada suatu peristiwa adalah
bergerak dalam situasi yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir ...
[tentang] situasi tersebut sesuai dengan ‘peristiwa’ itu.”13 Rezim Suharto menampilkan diri
sebagai wahana, yang dapat digunakan bangsa Indonesia agar tetap setia kepada
kebenaran peristiwa 1 Oktober 1965. Kebenaran yang dinyatakan peristiwa itu
ialah bahwa PKI jahat dan pengkhianat yang tak dapat disadarkan lagi. Rezim Suharto
akan tampak sebagai semacam “proses kebenaran” jika kebenaran dirumuskan sesuai
dengan cara Badiou meru-muskannya, yaitu “suatu proses nyata tentang kesetiaan
kepada suatu peristiwa.” Maka semua pejabat negara harus mengucapkan sumpah
setia kepada Pancasila dan bersumpah bahwa mereka (serta keluarga
masing-masing) bersih dari kaitan apa pun dengan PKI dan G-30-S. Namun, jika
kita menggunakan kerangka berpikir Badiou dalam berpikir tentang G-30-S, kita
akan menemukan bahwa G-30-S bukanlah “suatu peristiwa” menurut pengertian
Badiou karena peristiwa itu sedikit banyak merupakan hasil rekayasa ex post
facto (dari sesuatu yang sudah terjadi). Dengan operasi-operasi perang urat
syaraf rezim Suharto berdusta tentang cara bagaimana enam orang jenderal
tersebut dibunuh (menciptakan kisah-kisah tentang penyiksaan dan mutilasi) dan
tentang identitas para pelaku yang bertanggung jawab (menuduh setiap anggota
PKI bersalah). Gerakan 30 September tidak sama dengan revolusi Indonesia
1945-1949, yang merupakan “peristiwa-kebenaran” (truth-event) bagi
Sukarno. Revolusi itu bersifat terbuka dan umum. Jutaan orang mengambil bagian
di dalamnya (sebagai gerilyawan, kurir, juru rawat, dermawan, dll.). Untuk
menghancurkan prinsip rasial yang menjadi tumpuan pemerin-tah kolonial Belanda,
revolusi tampil membela prinsip-prinsip universal pembebasan umat manusia.14 Sebaliknya, G-30-S adalah
kejadian yang berlangsung cepat, berskala kecil, bersifat tertutup, dan
masyarakat umum hampir tidak mempunyai pengetahuan langsung mengenainya.
Hanya rezim Suharto saja yang mengaku mampu melihat kebenaran peristiwa
tersebut. Dengan demikian rezim itu setia kepada sesuatu yang bukan peristiwa,
kepada suatu fantasi yang dibuatnya sendiri. “Kesetiaan kepada citra khayali [simulacrum]”
tulis Badiou, “meniru sebuah proses kebenaran yang aktual,” namun
memutarbalikkan aspirasi universal tentang “peristiwa kebenaran” yang sejati.
Ia hanya mengakui sekumpulan orang tertentu (misalnya orang-orang nonkomunis)
sebagai peserta dalam kebenaran suatu peristiwa dan menciptakan “perang dan
pembantaian” sebagai upaya membasmi siapa pun yang berada di luar kumpulan yang
telah diakui tersebut.15
Sampai penghujung rezim
Suharto pada 1998 pemerintah dan pejabat militer Indonesia menggunakan hantu
PKI untuk menanggapi setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan.
Kata-kata kunci dalam wacana rezim itu adalah “bahaya laten komunisme.”16 Agen-agen tersembunyi dari Organisasi Tanpa Bentuk
(OTB) senantiasa mengendap, siap merongrong pembangunan ekonomi dan tertib
politik. Pembasmian PKI yang tak kunjung usai, sungguh-sungguh merupakan raison
d’être (alasan keberadaan) bagi rezim Suharto. Landasan hukum asali yang
dipakai rezim ini untuk menguasai Indonesia selama lebih dari 30 tahun adalah
perintah Presiden Sukarno pada 3 Oktober 1965, yang memberi wewenang kepada
Suharto untuk “memulihkan ketertiban.” Perintah itu dikeluarkan dalam situasi
darurat. Tapi bagi Suharto situasi darurat itu tidak pernah berakhir. Kopkamtib
(Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk pada masa itu
tetap diper-tahankan sampai akhir kekuasaan rezim (dengan penggantian nama
menjadi Bakorstanas pada 1988). Badan ini memungkinkan personil militer
bertindak di luar dan di atas hukum dengan dalih keadaan darurat.17 Pengambilalihan kekuasaan oleh Suharto sejalan dengan
ucapan teoretisi politik Carl Schmitt, “Sang penguasa adalah dia yang mengambil
keputusan akan adanya kekecualian.”18 Bagi Suharto, G-30-S adalah sebuah kekecualian; sebuah patahan dalam
tertib hukum yang normal, yang memerlukan kekuasaan ekstra legal untuk
memberantas-nya. Gerakan 30 September bukan sekadar “riak kecil di tengah
samudra luas Revolusi Indonesia,” seperti yang dinyatakan Sukarno, penguasa di
atas kertas.19 Namun teori Schmitt perlu kualifikasi tersendiri untuk menangani kasus-kasus
ketika penguasa memutuskan bahwa “kekecua-lian” harus menjadi norma.20 Suharto memutuskan bahwa kekecualian dari 1 Oktober
1965 bersifat permanen. Rezimnya mempertahankan “bahaya laten komunisme” dan
menyandera Indonesia dalam keadaan darurat terus-menerus. Seperti dikatakan
Ariel Heryanto, komunisme tidak pernah mati di Indonesia-nya Suharto.21 Rezim Suharto tidak dapat membiarkan komunisme mati,
karena ia menetapkan dirinya dalam hubungan dialektis dengan komunisme, atau
lebih tepat, dengan citra khayali (simulacrum) ‘komunisme’.
GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN
AMERIKA SERIKAT
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Dalil Pembunuhan Massal
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://westjava27.blogspot.com/2015/10/dalil-pembunuhan-massal.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment