Dalil Pembunuhan Massal Bagian 2
Wednesday, October 7, 2015
0
komentar
GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN
AMERIKA SERIKAT
Gerakan 30 September merupakan peristiwa signifikan dan bukan
hanya bagi Indonesia. Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia pada
1965, Marshall Green, berpendapat bahwa G-30-S merupakan salah satu saat paling
berbahaya bagi AS semasa perang dingin. Ia menafsirkan gerakan itu sebagai
“usaha kudeta komunis,” yang jika berhasil, dapat mengubah Indonesia menjadi
negara komunis yang bersekutu dengan Uni Soviet dan/atau Tiongkok. Dalam
wawancara di televisi pada 1997 ia menyatakan, “Saya kira [G-30-S] ini
merupakan peristiwa yang sangat penting di dunia, dan saya tak yakin pers dan
masyarakat umum pernah menganggapnya demikian. Dan saya tidak beranggapan bahwa
saya berkata begitu semata-mata karena saya ada di sana waktu itu: Saya kira
benar – bahwa inilah bangsa yang sekarang merupakan bangsa terbesar keempat di
dunia ini ... akan menjadi komunis, dan memang nyaris demikian.”22
Serangan Suharto terhadap kaum komunis dan
perebutan kekuasaan presiden yang dilancarkannya berakhir pada pembalikan
sepenuhnya peruntungan AS di Indonesia. Hampir dalam semalam pemerintah
Indonesia berubah dari kekuatan yang di tengah-tengah perang dingin dengan
garang menyuarakan netralitas dan antiimperialisme menjadi rekanan pendiam yang
patuh kepada tatanan dunia AS. Sebelum G-30-S terjadi, kedutaan AS telah
memulangkan hampir semua personil mereka dan menutup konsulat-konsulatnya di
luar Jakarta, karena gelombang-gelombang demonstrasi militan yang dipimpin PKI.
Presiden Sukarno kelihatannya menutup mata
dan merestui aksi-aksi itu dengan tidak memberikan perlindungan keamanan yang
cukup bagi konsulat-konsulat AS. Sementara serangan terhadap
fasilitas-fasilitas pemerintah AS sudah begitu mengkhawatirkan, kaum buruh
mengambil alih perkebunan-perkebunan dan sumber-sumber minyak milik
perusahaan-perusahaan AS, dan pemerintah Indonesia mengancam akan
menasionalisasi peru-sahaan-perusahaan tersebut. Sejumlah pejabat pemerintah AS
sempat mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik sama sekali. Tampaknya
Washington harus melupakan Indonesia dan menganggapnya sebagai bagian dari
dunia komunis. Sebuah laporan intelijen tingkat tinggi yang disiapkan awal
September 1965 mengatakan bahwa, “Indonesia di bawah Sukarno dalam hal-hal
penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah negara Komunis, dan lebih
secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri Komunis.” Laporan
itu memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia, dalam waktu dua atau tiga, akan sepenuhnya didominasi
PKI.23
Lepasnya Indonesia dari
pengaruh AS akan menjadi kehilangan besar, yang jauh lebih mahal daripada
lepasnya Indocina. Dalam politik luar negeri AS setelah Perang Dunia Kedua,
Indonesia dianggap sebagai domino terbesar di Asia Tenggara, bukan hanya karena
bobot demo-grafis sebagai negeri berpenduduk terbesar kelima di dunia dan
keluasan geografis sebagai kepulauan yang terbentang 3.000 mil lebih dari timur
ke barat, tapi juga karena sumber daya alamnya yang melimpah ruah. Indonesia
adalah sumber minyak, timah, dan karet yang penting. Dengan investasi lebih
banyak, Indonesia akan menjadi produsen bahan mentah yang lebih besar lagi,
termasuk emas, perak, dan nikel. Seperti dikatakan sejarawan Gabriel Kolko, bahwa
AS pada awal 1950-an “telah menyerahkan Indonesia di bawah pengaruh ekonomi
Jepang”; minyak, mineral, logam, dan tanaman pangan dari Indonesia akan
menghidupi industrialisasi Jepang. “Keprihatinan utama” AS adalah “keamanan
Jepang, yang aksesnya ke negeri kepulauan dengan sumber alam kaya raya itu
harus dijaga agar tetap aman berada di kubu AS.”24 Penilaian Kolko disusun berdasarkan penyataan
kebijakan Dewan Keamanan Nasional tahun 1952 yang berjudul, “United States
Objectives and Courses of Action with Respect to Southeast Asia” (Tujuan dan
Arah Tindakan Amerika Serikat untuk Asia Tenggara). Para pembuat kebijakan
dalam pemerintahan Truman melihat kawasan ini dari segi sumber daya
alam: “Asia Tenggara, khususnya Malaya dan Indonesia, merupakan sumber utama
dunia bagi karet alam dan timah, dan produsen minyak bumi, serta komoditi lain
yang penting secara strategis.” Jatuhnya kawasan ini ke tangan komunis (atau,
sejatinya kekuatan lokal mana pun yang ingin membatasi ekspor sumber daya alam
tersebut) akan menghambat industrialisasi Jepang, dan hal ini akan “sangat
mempersulit upaya mengalangi Jepang untuk pada akhirnya menyesuaikan diri
dengan komunisme.”25 Pemerintah Eisenhower mengeluarkan pernyataan politik serupa
tentang Asia Tenggara dua tahun kemudian, yang mengulangi bahasa memorandum
terdahulu hampir kata demi kata.26
Dalam minggu-minggu sebelum G-30-S beraksi,
para pembuat kebijakan di Washington saling mengingatkan diri, agar perang di
Vietnam tidak sampai mengalihkan perhatian mereka dari situasi di Indonesia
yang sama daruratnya. Pertemuan antara sekelompok kecil pejabat Departemen Luar
Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri George Ball di akhir Agustus 1965
menegaskan bahwa Indonesia paling tidak sama penting dengan seluruh Indocina.
Kelompok ini juga menegaskan bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh sayap kiri di Indonesia
sudah dekat. Menurut salah seorang pejabat yang hadir, William Bundy, kelompok
tersebut percaya bahwa pengambilalihan kekuasaan seperti itu akan menimbulkan
“efek menjepit sangat kuat bagi kedudukan negeri-negeri nonkomunis di Asia
Tenggara.”29
Dalam renungan reflektifnya, Robert
McNamara, Menteri Perta-hanan dalam pemerintahan Kennedy dan Johnson,
mengatakan bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Indocina setelah
pembas-mian kaum komunis di Indonesia oleh Suharto. Begitu domino besar di Asia
Tenggara sudah aman di tangan tentara Indonesia, para pembuat kebijakan AS
harusnya menyadari bahwa Vietnam sebenarnya tidak sepenting seperti yang mereka
pikirkan semula. “Kekalahan permanen” PKI di Indonesia, menurut pengakuannya
sekarang, “telah mengurangi pertaruhan riil AS di Vietnam secara substansial.”30 Walaupun dalam sebuah
memorandum 1967 McNamara telah menyebut penghancuran PKI sebagai alasan untuk
menghentikan langkah AS meningkatkan perang, ia tidak mendorong dilakukannya
peninjauan kembali kebijakan AS secara menyeluruh.31 Perang pada gilirannya
memperoleh logikanya sendiri, yang terpisah dari teori domino. Kendati memiliki
pemahaman mengenai implikasi dari kejadian-kejadian di Indonesia, McNamara
tetap terpaku dalam kerangka pikir yang menghendaki, pada satu pihak,
kemenangan AS dalam perang Vietnam, atau pada pihak lain, suatu cara
pengunduran diri dari Vietnam tanpa kehilangan muka bagi pemerintah AS. Para
pembuat kebijakan gagal memahami bahwa setelah 1965 “hanya sedikit
domino-domino yang tertinggal, dan kecil kemungkinannya mereka akan ikut
roboh.”32
Walaupun tersita oleh urusan Indocina pada
1965, Washington sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G-30-S dan
merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Sukarno dalam perang
dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali
pukul. Tentara Suharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara boneka
AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan
pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya. Dalam sepuluh hari
setelah G-30-S meletus, wartawan New York Times Max Frankel sudah
mencatat bahwa suasana Washington menjadi cerah. Artikel Max Frankel berjudul
“U.S. Is Heartened by Red Setback in Indonesia Coup” (AS Gembira
karena Kekalahan Kaum Merah dalam Kudeta di Indonesia). Ia mengamati bahwa
sekarang ada “harapan, padahal baru dua pekan lalu hanya ada keputusasaan
mengenai negeri berpenduduk terbesar kelima di bumi itu, yang dengan 103 juta
penduduknya di 4.000 pulau memiliki sumber daya melimpah tapi belum
dimanfaatkan dan menduduki salah satu posisi paling strategis di Asia
Tenggara.”33
Ketika berita-berita pembantaian mulai
berdatangan sepanjang bulan-bulan berikutnya, harapan Washington justru
membesar. Pada Juni 1966, seorang penulis editorial utama New York Times,
James Reston, menyebut “transformasi biadab” di Indonesia sebagai “secercah
cahaya di Asia.”34 Laporan utama majalah Time menyebut naiknya Suharto
sebagai “kabar terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia.”35 Wakil Menteri Muda Luar Negeri
Alexis Johnson percaya bahwa “pembalikan gelombang pasang komunis di Indonesia
yang besar itu” merupakan “peristiwa yang bersama perang Vietnam mungkin
merupakan titik balik sejarah terpenting di Asia dalam dasawarsa ini.”36 Seperti dinyata-kan Noam
Chomsky dan Edward Herman, pembantaian di Indonesia merupakan “pembantaian
bermaksud baik” dan “teror yang konstruktif” karena melayani kepentingan
politik luar negeri AS. Sementara Washing-ton mengemukakan setiap pelanggaran
hak asasi manusia di blok Soviet sebagai bukti kejahatan musuhnya dalam perang
dingin, ia mengabaikan, memberi pembenaran, atau bahkan bersekongkol dalam
kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah yang bersekutu dengan AS.37
MEMIKIRKAN KEMBALI
GERAKAN
Gerakan 30 September dengan begitu menjadi pemicu serangkaian
kejadian: penumpasan PKI, pengambilalihan kekuasaan negara oleh tentara, dan
pergeseran tajam posisi strategis Amerika Serikat di Asia Tenggara. Saya
menyadari arti penting peristiwa-peristiwa ini saat melakukan penelitian
lapangan di Indonesia pada awal 2000. Namun saya tidak bermaksud menulis
tentang G-30-S karena saya menganggap-nya sebuah misteri yang tak dapat
ditembus, dan tidak ada hal baru yang dapat ditulis mengenainya. Versi rezim
Suharto jelas patut dipertanyakan, jika bukan sama sekali salah, tapi kelangkaan bahan mempersulit
orang mengajukan versi tandingan. Tanpa informasi baru mengenai G-30-S, orang
hanya dapat mengunyah ulang fakta-fakta yang sudah diketahui umum tidak
memuaskan dan menambah spekulasi yang sudah demikian banyak. Penelitian sejarah
lisan yang saya lakukan terpusat pada akibat sesudah G-30-S terjadi. Perhatian
saya terutama pada pengalaman mereka yang selamat dari pembunuhan massal dan
penahanan.38 Gerakan 30 September itu sendiri tampaknya dapat disamakan
dengan peristiwa pembunuhan John F. Kennedy dalam sejarah AS – sebuah topik
yang cocok bagi mereka yang gemar teori konspirasi atau “deep politics”
(politik terselubung).39
Saya mulai yakin bahwa ada hal baru yang
dapat diketengahkan mengenai G-30-S saat menemukan dokumen yang ditulis
almarhum Brigadir Jenderal M.A. Supardjo. Menurut pengumuman radio yang
disiarkan G-30-S pada pagi 1 Oktober 1965, ia adalah salah satu dari empat
wakil komandan di bawah Letkol Untung. Saya tertarik kepada Supardjo karena ia
merupakan salah satu dari sekian banyak keganjilan dalam G-30-S: mungkin untuk
pertama kali dalam sejarah pemberontakan dan kup seorang jenderal menjadi
bawahan seorang kolonel. Mengapa Letkol Untung menjadi komandan dan Brigjen
Supardjo menjadi wakil komandan? Kebetulan saya bertemu dengan salah satu putra
Supardjo di rumah seorang eks tapol. Saya berbicara dengannya dalam kesempatan
itu dan beberapa pertemuan lain kemudian mengenai bagaimana ibu dan delapan
saudaranya dapat bertahan dalam pemis-kinan dan stigmatisasi yang mereka alami
setelah 1965. Tergerak oleh keingintahuan, saya lalu mendatangi penyimpanan
arsip militer di Dinas Dokumentasi Museum Satria Mandala, Jakarta, untuk
membaca pernyataan Supardjo di Mahmilub pada 1967 dan bukti-bukti yang diajukan
mahkamah kepadanya. Di situlah, hampir pada ujung bundel terakhir dokumen
pengadilan, pada bagian yang ditandai “Barang-Barang Bukti,” saya menemukan
analisis yang ditulisnya mengenai kegagalan G-30-S. Awalnya saya mengira bahwa
dokumen itu palsu atau tidak dapat digunakan. Saya belum pernah melihat dokumen
itu disebut dalam tulisan-tulisan ilmiah mengenai G-30-S. Jika memang dokumen
itu otentik, seharusnya ada orang yang pernah menulis sesuatu mengenai-nya.
Tapi, setelah mempelajari naskah itu, saya berkesimpulan bahwa dokumen itu tidak dapat lain dari apa yang menampak: sebuah
analisis pascaperistiwa yang ditulis Supardjo dengan jujur. Belakangan saya
mengetahui Jenderal A.H. Nasution (yang berhasil lolos dari penggerebekan
G-30-S pagi itu) memuat kutipan dari dokumen itu dalam otobiografinya yang
berjilid-jilid.40 Nasution tidak memberi komentar apa-apa. Selama bertahun-tahun
para sarjana mengabaikan dokumen tersebut begitu saja.41 Dokumen selengkapnya tampil
pertama kali dalam bentuk cetakan pada 2004 (setelah saya menyelesaikan draft
pertama buku ini). Victor Fic (almarhum) memasukkan terjemahan dokumen ini
dalam bukunya yang terbit di India.42 Pengabaian yang begitu lama terhadap dokumen tersebut sungguh
disayangkan. Dokumen ini merupakan sumber utama yang memberi informasi paling
banyak mengenai G-30-S karena ditulis oleh orang yang paling dekat dengan para
pelaku inti selama gerakan berlangsung. Supardjo menulis dokumen itu sekitar
1966 saat ia masih dalam persembunyian. Ia baru ditangkap pada 12 Januari 1967.
Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai hubungan dengan
G-30-S agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang mereka lakukan. Sebagai
sebuah dokumen internal, dokumen itu lebih andal daripada kesaksian-kesaksian
para pelaku yang diberikan di depan interogator dan mahkamah militer.
Minat saya kepada G-30-S
semakin diperkuat ketika, lagi-lagi secara tidak sengaja, bertemu dengan mantan
perwira militer yang namanya disebut melalui siaran radio sebagai wakil
komandan G-30-S: Heru Atmodjo. Ia seorang letnan kolonel Angkatan Udara. Hampir
sepanjang hari pada 1 Oktober 1965 Atmodjo bersama Supardjo dan dipenjara
bersama dengannya pula pada 1967-68. Ia mengonfirmasi keaslian dokumen Supardjo
itu. Ia bahkan pernah diberi salinannya oleh Supardjo untuk dibaca di dalam
penjara.43 (Menurut Atmodjo,
dokumen-dokumen biasanya diselundupkan keluar-masuk penjara oleh para penjaga
yang simpati). Atmodjo juga mengonfirmasi banyak penegasan yang dikemukakan
Supardjo dalam dokumen itu. Saya berulang kali berbicara dengan Atmodjo selama
tiga tahun dan menga-dakan empat wawancara yang direkam dengannya.
Setelah
membaca dokumen Supardjo dan berbicara dengan Heru Atmodjo, saya berkesimpulan
perlu ada analisis baru mengenai G-30-S. Lalu, saya mulai melakukan pengumpulan
informasi yang lebih terarah dan sistematis. Mengingat sifat persoalannya, saya harus
berpikir seperti detektif – yang kadang-kadang memang harus dilakukan
sejarawan. Saya berhasil menemui seorang kader tinggi PKI yang berpengetahuan
luas mengenai Biro Chusus, organisasi rahasia yang berperan penting dalam
G-30-S. Ia belum pernah berbicara kepada wartawan atau sejarawan siapa pun
mengenai pengalamannya. Ia berbicara kepada saya dengan syarat, saya tidak
mengungkap nama atau informasi apa saja yang dapat membuatnya dikenali. Ia
sudah tua dan meniti hidup dengan tenang dan tidak mau terlibat dalam
kontroversi. Dalam naskah ini saya memberinya nama samaran, Hasan.44
Bersama beberapa rekan di Indonesia saya
mewawancarai empat orang yang berpartisipasi dalam G-30-S, empat kader tinggi
PKI, dan beberapa orang lain yang cukup mengetahui masalah G-30-S. Salah
seorang mantan pimpinan PKI yang saya wawancarai menyerahkan salinan dari
analisis mengenai G-30-S yang ditulis temannya, almarhum Siauw Giok Tjhan.45 Sebelum Oktober 1965 Siauw
adalah pemimpin utama Baperki, organisasi Tionghoa Indonesia yang besar dan
pendukung Presiden Sukarno.46 Siauw, yang dipenjara selama 12 tahun, menulis analisisnya
berdasarkan diskusi dan wawancaranya dengan sesama tahanan. Analisisnya, oleh
karena itu, mencerminkan pendapat kolektif dari para tahanan politik mengenai
G-30-S.
Dengan jatuhnya Suharto pada Mei 1998,
banyak penulis yang memanfaatkan kebebasan pers untuk menerbitkan
tulisan-tulisan yang kritis terhadap versi resmi tentang peristiwa 1965. Mantan
wakil perdana menteri pertama di zaman Sukarno, yakni Subandrio, yang dipenjara
selama Suharto berkuasa, menerbitkan analisisnya mengenai G-30-S pada 2001.47 Mantan Menteri Panglima
Angkatan Udara, Omar Dani, memberikan wawancara di media massa dan membantu
sebuah tim penulis untuk menyusun biografinya.48 Sebuah tim penulis yang secara
tidak resmi mewakili korps Angkatan Udara menerbitkan keterangan rinci mengenai
kejadian-kejadian di pangkalan Halim.49 Bermunculannya berbagai penerbitan baru ini juga membantu
meyakinkan saya bahwa analisis baru yang lebih menyeluruh mengenai G-30-S
memang diperlukan.
Sementara para korban Suharto menerbitkan
cerita mereka, pemerintah AS menyiarkan seberkas dokumen yang sudah
dideklasifikasikan mengenai kejadian-kejadian di Indonesia dalam 1965-1966. Berkas
itu sebagian besar berupa memorandum dari pejabat pemerintahan L.B. Johnson,
dan pertukaran surat-surat kawat antara Kedutaan Besar AS di Jakarta dan
Departemen Luar Negeri di Washington, DC. Untuk alasan yang tidak dijelaskan,
Departemen Luar Negeri langsung menarik kembali berkas dokumen yang telah
diumumkannya itu. Penarikan itu sia-sia belaka karena beberapa eksemplar sudah
terlanjur dikirim ke berbagai perpustakaan. Langkah itu (bagi Departemen Luar
Negeri) juga kontraproduktif karena aroma kontroversi justru merangsang hasrat
ingin tahu masyarakat umum. Seluruh berkas naskah itu sekarang tersedia di
berandawarta (website) sebuah lembaga penelitian di Washington, DC.50
Saya
juga menemukan dua dokumen penting di sebuah tempat penyimpanan arsip di
Amsterdam. Dua orang mantan anggota Politbiro PKI, Muhammad Munir dan Iskandar
Subekti, menulis analisis masing-masing tentang G-30-S, yang belum pernah
dimanfaatkan para sejarawan sebelumnya.
Dengan menggunakan potongan-potongan
informasi yang telah saya kumpulkan dari berbagai sumber ini, saya mencoba
menetapkan siapa yang mengorganisasi G-30-S, apa yang ingin mereka capai
melalui tindakan mereka, dan mengapa mereka gagal sedemikian parahnya. Analisis
yang ditampilkan dalam buku ini dengan sendirinya menjadi rumit karena kisah
G-30-S banyak bersimpul dan berliku-liku. Masing-masing orang bergabung dalam
G-30-S dengan motivasi dan pengharapan berbeda-beda dan dengan tingkat
pengetahuan mengenai rencana aksi yang berbeda-beda pula. Seperti halnya
kebanyakan operasi rahasia yang melibatkan beragam orang dan lembaga, kita akan
melihat adanya kesalahan asumsi, salah komunikasi, dan penipuan diri-sendiri.
Buku ini dapat dianggap sebagai apa yang
oleh Robert Darnton disebut “analisis insiden” karena memusatkan perhatiannya
pada satu insiden dramatis, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang khas dari
langgam ini: “Bagaimana kita dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi?
Apa yang membedakan fakta dari fiksi? Bagaimana menemukan kebenaran di antara
interpretasi yang saling bertentangan?”51 Darnton mencatat bahwa orang yang menulis tentang kekejaman dan
pemban-taian cenderung mengkaji dengan teliti dokumen tertulis dan narasi lisan untuk memahami “apa yang sesungguhnya terjadi”: identitas
para pelaku, jumlah korban, kronologi kejadian yang tepat, dan sete-rusnya.
Menghadapi bukti yang bias dan memihak, seorang sejarawan akan tergoda
menggunakan strategi Akira Kurosawa dalam film tahun 1950 yang terkenal, Rashomon
(berdasarkan cerita pendek Ryunosuke Akutagawa). Empat orang masing-masing
memberikan empat cerita yang berbeda-beda tentang satu kejahatan yang sama.
Cerita lalu berakhir tanpa kepastian tentang yang manakah cerita yang benar.
Salah satu di antara empat tokoh yang berusaha menetapkan siapa yang
bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi, pada akhirnya mengatakan kepada
temannya yang sama-sama bingung. “Sudahlah, jangan khawatirkan itu lagi.
Seakan-akan manusia itu rasional saja.”52 Kesimpulan demikian tidak menjadi soal bagi sebuah cerita
fiktif. Namun sulit untuk menga-takan kepada masyarakat “yang ingin mengetahui
kebenaran tentang trauma di masa lalu,” bahwa mereka harus menyerahkan diri
kepada ide bahwa kebenaran itu relatif, masa lalu itu tidak dapat dimengerti, dan
manusia itu irasional.53 Walaupun saya menghindari pengakhiran kisah dengan gaya Rashomon,
saya juga tidak mengambil gaya pengakhiran kisah seperti Sherlock Holmes atau
Hercule Poirot. Tak seorang pun dengan penuh keyakinan dapat menudingkan
telunjuk tuduhan kepada si pelaku kejahatan sehingga seluruh misteri G-30-S pun
tidak dapat terungkap dengan baik. Banyak yang masih tetap tidak diketahui atau
tidak pasti. Orang harus menerima bahwa mungkin masih banyak tokoh-tokoh yang
tidak dikenal, namun memainkan peranan sangat penting di balik layar. Meminjam
komentar epistemologis Donald Rumsfeld yang telah dikecam habis secara tak
berimbang, tentu terdapat banyak “hal-hal tidak diketahui yang tidak
diketahui,” yaitu hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu.54 Bagian akhir buku ini hanya
berniat membawa kita sedikit lebih maju dalam menyusuri labirin misteri ini,
memberi pertanda beberapa jalan buntu, dan menunjukkan jalan-jalan yang paling
menjanjikan bagi penelitian lebih lanjut.55
PENYAJIAN ARGUMEN
Buku
ini dimulai dengan bab yang menggambarkan aksi-aksi dan pernyataan-pernyataan G-30-S
pada 1 Oktober 1965 dan kekalahannya di tangan Mayjen Suharto. Bab ini akan
memperkenalkan pembaca kepada semua keganjilan G-30-S, yang menjadi alasan
mengapa banyak sejarawan melihatnya sebagai teka-teki. Aksi-aksi G-30-S tidak didasari
alasan yang jelas, bergerak dengan berbagai tujuan yang saling berlawanan, dan
akhirnya hampir tidak mencapai apa pun. Pengumuman-pengumuman yang disiarkan di
radio tidak konsisten dan hampir tidak ada kaitannya dengan tindakan di
lapangan. Jika dilihat secara menyeluruh, G-30-S tampak sebagai sosok aneh yang
tidak masuk akal. Tidak ada pola yang jelas, bahkan jika kita susun berurutan
rangkaian kejadian-kejadian yang sudah disepakati umum – yang dapat kita anggap
sebagai fakta sekalipun. G-30-S tidak dapat digolongkan sebagai pemberontakan
pasukan militer, percobaan kudeta, atau pemberontakan sosial. Bab yang pertama
sengaja tidak saya tulis dalam bentuk narasi, karena memang peristiwa-peristiwa
yang terjadi tidak memiliki kesinambungan alur dan karakter yang di-perlukan
untuk menyusun sebuah narasi. Bab ini bermaksud menyoroti berbagai keganjilan
yang kacau dari G-30-S, yang merupakan pengalang bagi narasi yang lugas dan
lancar.
Bab kedua akan mengikhtisarkan berbagai
cara keganjilan-kegan-jilan itu telah ditafsirkan dan disusun menjadi sebuah
narasi kejadian yang padu. Rezim Suharto dengan kasar mendesakkan sebuah narasi
gampangan, yang menetapkan PKI sebagai dalang keji yang mengontrol setiap aspek
G-30-S. Sejumlah sarjana asing yang lebih berperhatian pada prosedur
pengungkapan bukti dan logika dibanding dengan para propagandis negara
menunjukkan kelemahan-kelemahan versi rezim Suharto, dan mengajukan jalan
cerita yang berbeda. Para ilmuwan itu menyatakan bahwa peran para perwira
militer yang terlibat dalam G-30-S lebih besar dari peran PKI, atau bahwa
Suharto sendiri terlibat dalam operasi ini.
Bab-bab tiga sampai enam mencermati sumber primer yang baru: dokumen
Supardjo, wawancara lisan saya dengan Hasan dan lainnya, dokumen-dokumen
internal PKI, beberapa memoar yang baru diter-bitkan, dan dokumen-dokumen
rahasia pemerintah AS yang sudah diumumkan. Saya menganalisis para pelaku
secara bergiliran: para perwira militer dalam G-30-S, Sjam dan Biro Chususnya,
D.N. Aidit dan pimpinan PKI jajarannya, Suharto dan para perwira
rekan-rekannya, dan pemerintah AS. Bab-bab ini, sebagai tinjauan atas
bukti-bukti yang ada, berjalan dengan mengikuti logika penyelidikan detektif.
Barulah pada bab terakhir saya membangun suatu narasi yang berjalan secara
kronologis dan bermaksud untuk memecahkan banyak keganjilan dalam peristiwa
yang saya uraikan dalam bab pertama.
GERAKAN 30 SEPTEMBER
SEBAGAI DALIH
Dalam ingatan sosial
masyarakat Indonesia seperti yang dibentuk rezim Suharto, G-30-S merupakan
kekejaman yang begitu jahat, sehingga kekerasan massal terhadap siapa pun yang
terkait dengannya dilihat sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan dan bahkan
terhormat. Diduga ada hubungan sebab-akibat langsung: represi terhadap PKI
merupakan jawaban sepatutnya terhadap ancaman yang diajukan G-30-S. Memang
dalam wacana politik di Indonesia menjadi lazim menggabungkan G-30-S dengan
kekerasan massal yang mengikutinya, seakan-akan keduanya merupakan suatu
peristiwa tunggal; satu istilah, “Gerakan 30 September,” digunakan untuk
merujuk ke dua peristiwa. Kendati demikian sejak awal serangan Suharto terhadap
PKI, sesuatu yang tidak benar sudah terasa dengan pelekatan erat kedua
peristiwa tersebut. Sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 Presiden Sukarno
terus-menerus memprotes bahwa Angkatan Darat “mau membunuh tikus seluruh rumahnya
dibakar.”56 Kampanye anti-PKI sama
sekali menjadi tidak sepadan dengan alasan senyatanya. Pada dasarnya G-30-S
merupakan suatu peristiwa yang relatif berskala kecil di Jakarta dan Jawa
Tengah, yang sudah berakhir paling lambat 3 Oktober 1965. Secara keseluruhan
G-30-S telah membunuh dua belas orang.57 Suharto membesar-besarkannya sedemikian rupa sehingga peristiwa itu
tampak seperti sebuah konspirasi nasional berkelan-jutan untuk melakukan
pembunuhan massal. Berjuta-juta orang yang berhubungan dengan PKI, bahkan para
petani buta huruf di dusun-dusun terpencil, ditampilkan sebagai gerombolan
pembunuh yang secara kolektif bertanggung jawab atas G-30-S. Setiap orang yang
ditahan militer dituduh sebagai “langsung atau tidak langsung terlibat dalam
Gerakan 30 September,” jika kita mengutip dari surat keterangan yang diberikan
kepada tahanan politik pada saat ia dibebaskan. (Perhatikan istilah karet tidak
langsung.) Dua orang pakar tentang Indonesia dari Cornell University,
Benedict Anderson dan Ruth McVey, pada awal 1966 mengamati bahwa tentara
Suharto telah memulai kampanye antikomunis cukup lama sesudah G-30-S hancur dan
tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangkit kembali. Di antara saat G-30-S tamat
riwayatnya dengan saat penangkapan massal oleh tentara dimulai, “tiga minggu
berlalu tanpa adanya kekerasan atau tanda-tanda terjadinya perang
saudara, bahkan menurut Angkatan Darat sendiri.” Dua penulis itu berpendapat
bahwa G-30-S dan kampanye antikomunis yang mengikutinya “merupakan
fenomena politik yang sama sekali terpisah” (cetak miring penegas dalam
teks asli).58
Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965
sampai awal 1966 harus dilihat lebih sebagai saat awal pembangunan sebuah rezim
baru, ketimbang sebuah reaksi wajar terhadap G-30-S. Suharto dan para perwira
tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk menegakkan
kediktatoran militer di negeri ini. Mereka perlu menciptakan keadaan darurat
nasional dan suasana yang sama sekali kacau jika hendak menumbangkan seluruh
generasi kaum nasionalis dan menyapu bersih cita-cita kerakyatan Presiden
Sukarno. Mereka me-ngetahui bahwa mereka harus melawan pendapat umum.59 Suharto saat itu relatif bukan
siapa-siapa, seorang pejabat biasa, yang bersiasat untuk menggeser sang
pemimpin karismatik bangsa. Ia dan para pemimpin militer lainnya mengetahui
bahwa mereka akan menghadapi perlawanan hebat jika militer melancarkan kudeta
terhadap Sukarno secara langsung tak berselubung. Alih-alih menyerang istana
terlebih dulu, Suharto justru menyerang masyarakat dengan kekerasan secepat
kilat, lalu dengan menginjak-injak penduduk yang dicengkam ketakutan dan
kebingungan melenggang masuk ke istana.
Suharto sendiri, tak mengherankan,
menyangkal bertanggung jawab atas kekerasan massal 1965-66 – pelaku jarang mau
mengakui kejahatan mereka di hadapan publik.60 Dalam catatan resmi dinyatakan bahwa “penumpasan PKI” telah
dilakukan melalui tindakan administratif dan tanpa pertumpahan darah; orang
yang dicurigai ditangkap, diperiksa untuk memastikan bersalah atau tidak, lalu
dibagi dalam tiga golongan (A, B, dan C) sesuai tingkat keterlibatan
masing-masing di dalam G-30-S, lalu dipenjarakan. Catatan resmi tidak pernah
menyebut
tentang pembunuhan massal.61 Dalam memoarnya Suharto menulis bahwa strateginya adalah
“pengejaran, pembersihan dan penghancuran.”62 Ia tidak memberi tahu pembaca bahwa ada orang yang tewas dalam
proses itu. Film mengenai G-30-S yang disponsori pemerintah juga tidak
menggambarkan adanya penangkapan dan pembunuhan massal. Panel terakhir pada
relief Monumen Pancasila Sakti memperlihatkan Letkol Untung di depan Mahmilub,
seolah-olah proses hukum dengan kepala dingin merupakan satu-satunya bentuk
reaksi militer terhadap G-30-S. Tidak ada tugu peringatan dibangun di Monumen
Pancasila Sakti bagi ratusan ribu korban. Saat menyinggung tentang kekerasan
yang terjadi, dalam kesempatan yang amat langka, Suharto menjelaskannya sebagai
sesuatu yang bersumber pada konflik dalam masyarakat. Dalam pidato pada 1971,
ia menyampaikan analisis tentang sebab-musabab pembunuhan itu dalam satu
kalimat singkat, “Ribuan korban djatuh didaerah2 karena rakjat bertindak
sendiri2, djuga karena prasangka2 buruk antar golongan yang selama bertahun2
ditanamkan oleh praktek2 politik jang sangat sempit.”63 Dengan demikian Angkatan Darat
seolah-olah tidak memainkan peran apa pun dalam mengatur pembunuhan; rakyat
melakukannya sendiri untuk alasan yang tidak ada kaitan dengan operasi penghancuran G-30-S PKI 0leh militer.
Penjelasan Suharto yang singkat tentang
sebab-musabab pembunuhan itu bukanlah sesuatu yang unik. Banyak orang
Indonesia, bahkan yang biasanya kritis terhadap propaganda negara, mempercayai
bahwa pembunuhan itu merupakan tindak kekerasan yang terjadi spontan dari
bawah, sebagai pengadilan liar barisan keamanan masyarakat, yang membarengi
usaha penumpasan pemberontakan PKI oleh militer yang sangat terkendali dan
terorganisasi dengan baik. Karena ketidaktahuan mengenai peristiwa-peristiwa
yang terjadi di daerah-daerah lain, orang yang menyaksikan pembunuhan
besar-besaran yang diatur militer di daerah tempat tinggalnya bisa jadi
menganggap pembunuhan tersebut sebagai pengecualian. Tidak adanya pembicaraan
yang terbuka dan penyelidikan yang teliti terhadap pembantaian yang terjadi
telah menimbulkan ketidakpastian yang besar tentang pola umum kejahatan ini.
Kaum terpelajar Indonesia, dalam mencari jawab tentang masalah ini, cenderung
terjerumus pada prasangka berkerak akan kerentanan massa. Kalangan kelas
menengah Indonesia sering mengatakan kepada saya bahwa pembunuhan itu merupakan
buah antagonisme yang sudah ada sebelumnya antara PKI dan partai-partai politik
lain. Anggota PKI, karena militansi dan kekejaman mereka, rupanya menjadi sangat
dibenci sejak sebelum 1965, sehingga lawan-lawan mereka langsung mengambil
kesempatan untuk membantai mereka. Pembunuhan itu seakan-akan terjadi begitu
saja, tanpa ada orang atau lembaga apa pun yang bertang-gung jawab. Seperti
dikatakan Robert Cribb, pembunuhan yang terjadi “dipandang seolah-olah
tergolong dalam kategori tak lazim kematian massal akibat ‘kecelakaan’.”64
Koran-koran Indonesia tidak memberitakan
adanya pembunuhan-pembunuhan. Angkatan Darat memberangus hampir semua surat
kabar dalam pekan pertama Oktober 1965 dan menerapkan sensor terhadap beberapa
di antaranya yang mendapat ijin terbit kembali. Angkatan Darat menerbitkan
beberapa korannya sendiri. Orang akan sia-sia mencari berita dalam koran-koran
yang terbit antara akhir 1965 sampai akhir 1966 yang sekadar menyebut saja
bahwa ada pembunuhan besar-besaran. Koran-koran hanya memuat berita tentang
cara-cara tanpa kekerasan dalam penumpasan PKI: pemecatan orang-orang yang
dituduh pendukung PKI dari berbagai badan pemerintahan (seperti kantor berita
“Antara”), pembubaran organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI, dan
demon-strasi mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Sudah pasti
para redaktur koran-koran tersebut mengetahui tentang terjadinya pembunuhan
besar-besaran – kisah-kisah mengerikan sudah beredar luas dari mulut ke mulut.
Tapi mereka sengaja tidak memberitakannya barang sepatah kata pun. Sebagai
gantinya mereka penuhi koran-koran mereka dengan cerita-cerita fiktif dari para
ahli perang urat syaraf di kalangan tentara, yakni kisah-kisah yang melukiskan
PKI sebagai pelaku tunggal kekerasan di tengah masyarakat. Bahkan koran-koran
independen pun, seperti misalnya Kompas, yang belakangan menjadi koran
acuan terkemuka selama tahun-tahun kekuasaan Suharto, ikut ambil bagian dalam
kampanye militer untuk menggalakkan histeria anti-PKI.
Angkatan Darat mengendalikan dengan ketat
keberadaan wartawan asing, melarang banyak dari mereka masuk Indonesia sejak
Oktober 1965, dan membatasi gerak mereka yang berhasil tinggal atau menyelinap
masuk agar tetap berada di Jakarta. Sebagian besar pemberitaan para wartawan
yang berdiam di Jakarta terpusat pada manuver-manuver politik tingkat tinggi
Presiden Sukarno, Jenderal Nasution, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan
yang lain. Para juru bicara militer dengan sopan meyakinkan para wartawan bahwa
pembunuhan apa pun yang terjadi adalah akibat kemarahan rakyat yang tak
terkendali, bukan pembantaian yang diatur tentara. Dari cerita-cerita yang
merembes ke Jakarta, para wartawan menduga-duga bahwa angka korban mati yang diumumkan
Sukarno pada Januari 1966, yaitu 87.000, sangat jauh di bawah angka sebenarnya.
Tetapi mereka tidak dapat memberitakan pembunuhan besar-besaran itu
selengkap-lengkapnya sampai sesudah Angkatan Darat melonggarkan batasan-batasan
bergerak pada Maret 1966. Skala pembunuhan mulai menjadi lebih jelas ketika
wartawan dapat pergi ke daerah-daerah di luar Jakarta. Wartawan pertama yang
melakukan penyelidikan, Stanley Karnow dari Washington Post, setelah
melalui perjalanan selama dua pekan di seluruh Jawa dan Bali, memperkirakan
setengah juta orang telah mati dibunuh. Seth King dari New York Times,
pada Mei 1966, mengajukan angka perkiraan moderat, yaitu sebanyak
300.000 korban tewas. Seymour Topping, rekan Seth King dari koran yang sama,
melakukan penyelidikan beberapa bulan kemudian dan menyimpulkan bahwa jumlah
korban mati seluruhnya bahkan dapat lebih
dari setengah juta orang.65
Ketiga koresponden asing itu memberitakan
bahwa personil militer dan milisi sipil antikomunis terlibat dalam pembunuhan
dan sering kali mereka melakukannya dengan cara-cara yang sistematik dan
rahasia. King mencatat bahwa orang-orang asing di Jakarta tidak menyaksikan
kekerasan apa pun. Mereka hanya mengetahui bahwa tentara pada malam hari
melakukan penggerebekan rumah-rumah, menggiring mereka yang dicurigai sebagai
simpatisan PKI ke atas truk, dan membawa mereka ke luar kota sebelum fajar.
King mendengar cerita dari seseorang yang kebetulan menumpang sebuah truk
tentara bahwa kira-kira lima ribu orang dari Jakarta yang diambil dari rumah
mereka masing-masing dibawa ke sebuah penjara di pinggir kota, dan di sana
mereka mati perlahan-lahan karena kelaparan. (King tidak menyebut adanya ribuan
orang lagi yang kelaparan di penjara-penjara di dalam kota Jakarta). Karnow
menggambarkan pembunuhan besar-besaran di kota Salatiga di Jawa Tengah: “Di
setiap bangunan, seorang kapten tentara membacakan nama-nama dari sebuah
daftar, memberi tahu mereka tentang kesalahan masing-masing – atas nama hukum
walaupun sidang pengadilan tidak pernah diadakan. Akhirnya truk-truk itu
masing-masing diisi dengan enam puluh tawanan, dan dengan dikawal satu peleton
tentara, menempuh jarak sekitar enam mil, melalui hamparan sawah dan kebun
karet yang gelap menuju suatu kawasan tandus di dekat Desa Djelok. Para petani
di daerah tersebut sudah diperintahkan lurah untuk menggali sebuah lubang besar
satu hari sebelumnya. Para tawanan, dibariskan berdiri di bibir lubang, lalu
ditembaki dalam beberapa menit. Beberapa dari mereka barangkali dikubur
hidup-hidup.” Dari kisah-kisah semacam ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa
tentara mengorganisasi pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa
Tengah.66
Topping juga menyimpulkan bahwa militer
melakukan pembunuhan secara kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia
mengatakan pola kekerasannya berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan
Bali. Di dua daerah terakhir militer biasanya menghasut penduduk sipil untuk
melakukan pembunuhan, ketimbang memerintahkan personil mereka sendiri melakukan
tugas kotor itu. Tentara menebar suasana ketakutan dengan mengatakan kepada
masyarakat di kota dan desa bahwa PKI sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan
besar-besaran: menggali kuburan massal, menyusun daftar hitam orang yang akan dibunuh,
me-nyiapkan alat khusus pencungkil mata. Topping menyatakan bahwa pada umumnya
para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap cerita-cerita yang
disebarkan tentara sebagai cerita yang dibuat-buat: “Tidak ada bukti kuat bahwa
orang-orang Komunis mempunyai perbe-kalan senjata yang begitu besar atau
merencanakan pemberontakan massa di seluruh tanah air untuk merebut kekuasaan
dalam waktu dekat.”67 Topping menambahkan bahwa pengingkaran tentara terhadap
tanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi disangkal bukan hanya
oleh hasil penyelidikan singkatnya sendiri tapi juga oleh pernya-taan pribadi
salah satu dari para panglima utama Suharto sendiri. Mayor Jenderal Sumitro,
Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur, dalam wawan-caranya dengan Topping
berkata, bahwa Suharto, pada November 1965, mengeluarkan perintah secara rinci
tentang pembasmian PKI. Dalam Desember 1965, Sumitro beserta stafnya
mengunjungi seluruh komando distrik militer di Jawa Timur untuk memastikan
bahwa perintah itu telah dipahami. Topping mengutip Sumitro yang mengakui bahwa
“sebagian besar komandan setempat telah menunaikan tugas sebaik-baiknya untuk
membunuh kader-kader [PKI] sebanyak-banyaknya.”68
Sampai pertengahan 1966 dua surat kabar
utama Amerika Serikat sudah menyiarkan ke publik bahwa Angkatan Darat Indonesia
di bawah Mayor Jenderal Suharto adalah pihak yang paling bertanggung jawab
terhadap pembunuhan massal sekitar setengah juta orang, dan bahwa banyak pembunuhan
itu dilakukan secara kejam terhadap para tawanan terpilih. Namun demikian
berita ini tidak mengalangi pemerintah Amerika Serikat memberikan sambutan
hangatnya kepada Suharto selaku penguasa baru di Indonesia. Tidak satu pun
pejabat pemerin-tahan Johnson menyatakan keberatan terhadap pelanggaran berat
hak-hak asasi manusia yang dilakukan tentara Indonesia. Robert Kennedy
menyesali kebisuan itu ketika mengucapkan pidatonya di New York City pada
Januari 1966: “Kita telah bersuara lantang terhadap pembantaian tak manusiawi
yang dilakukan oleh kaum Nazi dan kaum Komunis. Tapi apakah kita akan bersuara
lantang pula terhadap pembantaian keji di Indonesia, yang lebih dari 100.000
orang yang dituduh Komunis bukanlah pelaku tetapi korban?”69 Jawaban terhadap pertanyaan
itu, tentu saja, tidak. Bagaimana pun juga pemerintah AS telah membantu Suharto naik takhta. Kegembiraan akan penggulingan Sukarno dan
penghancuran PKI mengalahkan pertimbangan kemanusiaan apa pun.
Prioritas-prioritas ini tampak jelas dalam
laporan utama tentang Suharto dalam majalah Time pada Juli 1966. Dengan
tepat Time mem-beritakan, “militer bertanggung jawab atas kebanyakan
pembunuhan yang terjadi” dan mengakui bahwa pembunuhan itu “telah
menghi-langkan lebih banyak nyawa ketimbang kehilangan [yang diderita] AS dalam
seluruh peperangan di sepanjang abad ini.” Tanpa menghindari penggambaran
detil-detil yang mengerikan, laporan utama itu menye-butkan bahwa beberapa
orang yang dicurigai sebagai komunis telah dipancung dan mayat mereka dibuang
di kali-kali. Namun selanjutnya artikel itu memuji rezim baru Suharto yang
didominasi militer karena “sangat konstitusional.” Suharto dikutip saat
mengatakan, “Indonesia negara yang berdasar hukum, bukan pada kekuasaan
belaka.”70 Oleh karena
dari sudut kepentingan politik luar negeri AS banjir darah itu konstruktif,
majalah Time dapat menampilkan pelaku kejahatan dalam sorotan yang sama
sekali positif walaupun hasilnya kemudian adalah penjajaran yang sangat aneh
antara kepala-kepala yang dipenggal dan prosedur konstitusional.
Kecaman terhadap pembunuhan-pembunuhan yang terjadi diredam bukan hanya
karena para pelakunya antikomunis. Banyak pemberitaan media mengecilkan
tanggung jawab militer atas pembunuhan sambil membesar-besarkan peranan
masyarakat sipil. Stereotip yang dibuat para orientalis mengenai orang
Indonesia yang primitif, terbelakang, dan bengis mengemuka sehingga
menenggelamkan pemberitaan faktual tentang pembunuhan-pembunuhan berdarah
dingin yang diorganisir militer. Orang asing digiring untuk mempercayai bahwa
pembunuhan massal itu merupakan ledakan tiba-tiba, tanpa nalar, dan penuh
dendam kesumat masyarakat rentan yang meradang oleh sepak terjang agresif PKI
selama bertahun-tahun. Bahkan tanpa penyelidikan mendalam, wartawan-wartawan
merasa yakin bahwa prasangka mereka terhadap apa yang disebut watak ketimuran
membenarkan adanya kesimpulan definitif. Judul utama salah satu tajuk rencana
C.L. Sulzberger dalam New York Times terbaca “When a Nation Runs Amok”
[Ketika Suatu Bangsa Mengamuk]. Bagi Sulzberger pembunuhan-pembunuhan
itu tidak mengejutkan karena terjadi di “Asia yang berperangai keras, dengan kehidupan murah.” Banjir darah itu hanyalah memantapkan
keyakinan-nya bahwa bangsa Indonesia mempunyai “ciri pembawaan Melayu yang
ganjil, tabiat haus darah membabi buta yang telah menyumbang satu kata dari
sedikit kata Melayu dalam bahasa-bahasa lain: amok.”71
Demikian pula laporan Don Moser untuk
majalah Life tak beranjak terlalu jauh dari ungkapan-ungkapan klise
dangkal tentang bangsa Indonesia yang pramodern dan eksotik: “Tidak ada di mana
pun selain di pulau-pulau yang misterius dan elok ini ... peristiwa-peristiwa
dapat meledak begitu tak terduga, begitu kejam, tak hanya diwarnai dengan
fanatisme, tapi juga haus darah dan hal-hal semacam sihir dan santet.”
Kekerasan itu bahkan tidak melibatkan militer; melainkan timbul sepenuhnya dari
kalangan rakyat. Pembantaian “gila-gilaan” di Bali merupakan “pesta pora
kebengisan.” Di mana-mana terjadi “histeria massal.”72 Karangan-karangan Robert
Shaplen di majalah New Yorker, yang lebih panjang lebar, mengulang alur
kisah yang sama tentang ke-berangan spontan terhadap PKI. Bangsa Indonesia
adalah bangsa primitif belaka yang tidak dapat disalahkan dalam hal pelanggaran
hak-hak asasi manusia karena mereka belum cukup beradab untuk dipandang sebagai
manusia yang dewasa. Represi terhadap PKI “berubah menjadi luapan balas dendam
liar dan tak pandang bulu berdasarkan permusuhan pribadi dan histeria massal di
tengah masyarakat yang secara emosional dan psikologis memang siap mengamuk.”73 Adalah tidak adil jika apa
yang disebutnya sebagai “segenap dunia ‘berakal’” untuk mengharapkan bangsa
Indonesia merasa bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang salah karena “bangsa
ini dapat menjelaskan pertumpahan darah tersebut, sekurang-kurangnya demi
kepuasan hati mereka sendiri, menurut pengertian kuno tentang katarsis dan
pembasmian kejahatan.”74 Sembari menghidupkan kembali mitos-mitos tua kolonial tentang
“orang-orang pribumi” yang terbelenggu pada tradisi dan bersifat mistik,
Shaplen secara tidak kritis menceritakan ulang versi tentara Indonesia tentang
peristiwa-peristiwa 1965-1966.
Beberapa pakar tentang
Indonesia tetap percaya kepada cerita tentang pembantaian itu sebagai balas
dendam spontan terhadap PKI.75
Antropolog Cliord Geertz, berdasarkan kunjungannya ke sebuah kota kecil di Jawa
Timur pada 1970-an dan 1980-an, mengatakan bahwa orang di kota itu mengenang
pembunuhan tersebut sebagai “penggalan retak sejarah
yang kadang-kadang diingat sebagai akibat dari politik.”76 Dalam esainya yang terkenal
mengenai adu ayam di Bali, Geertz sambil lalu menyebut bahwa kekerasan dalam
adu ayam itu memperlihatkan pembantaian yang terjadi di sebuah pulau dengan
kerukunan sosialnya yang terkenal di seluruh dunia itu “tidak bertentangan
dengan hukum alam”; adu ayam itu menurutnya merupakan penyaluran kecenderungan
kekerasan yang ada dalam masyarakat.77 Theodore Friend, seorang sejarawan Asia Tenggara, dengan yakin
mengatakan bahwa pembunuhan itu mencerminkan “ledakan kekerasan massal yang
hebat”; dimulai “secara spontan” tanpa arahan militer dan merupakan kekerasan
“muka lawan muka” dan dengan “kedekatan yang aneh.”78
Sungguh mencengangkan bahwa kekerasan
anti-PKI, suatu kejadian dengan skala demikian luas, ternyata salah dimengerti
sedemikian parah. Tentu saja keterlibatan baik personil militer maupun penduduk
dalam pembunuhan itu telah mengaburkan masalah tanggung jawab. Bagaimana pun,
dari sedikit yang sudah diketahui, jelaslah bahwa militer yang memikul bagian
tanggung jawab terbesar, dan bahwa pembunuhan itu lebih merupakan kekerasan
birokratik yang terencana ketimbang kekerasan massa yang bersifat spontan.
Dengan mengarang cerita-cerita bohong mengenai G-30-S dan mengendalikan media
massa sedemikian ketat, klik perwira di sekitar Suharto menciptakan suasana di
kalangan penduduk sipil bahwa PKI sedang bersiap-siap untuk perang. Tanpa
provokasi yang disengaja oleh ahli-ahli propaganda militer, penduduk tidak akan
percaya bahwa PKI merupakan ancaman yang mematikan karena partai ini bersikap
pasif setelah G-30-S ditaklukkan.79 Militer bekerja keras menyulut kemarahan rakyat melawan PKI
sejak awal Oktober 1965. Ahli-ahli propaganda Suharto menemukan akronim untuk
G-30-S, yang dikaitkannya dengan polisi rahasia Nazi Jerman. Akronim itu, Gestapu,
tidak sesuai dengan kepanjangan yang berbunyi Gerakan Tiga Puluh
September.80 Surat kabar dan siaran radio
dipenuhi dengan berita palsu tentang apa yang dinamakan Gestapu: bahwa
PKI menimbun senjata dari Tiongkok, menggali kuburan massal, menyusun daftar
orang-orang yang akan dibunuh, mengumpulkan alat khusus untuk mencungkil mata,
dan seterusnya.81 Militer menggambarkan jutaan orang seperti setan dan bukan
manusia dengan menyusun mata rantai asosiasi: G-30-S sama dengan PKI sama
dengan barang siapa saja yang
diasosiasikan dengan PKI sama dengan kejahatan mutlak. Propaganda ini
sendiri, bagaimana pun, tidak cukup untuk mem-
provokasi penduduk sipil agar ikut melakukan kekerasan.
Propaganda merupakan faktor yang penting tapi tidak cukup. Perbedaan waktu
terjadinya kekerasan di daerah-daerah yang berlainan menunjukkan bahwa
kedatangan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD) berperan sebagai
pemicu. Pengamatan Anderson dan McVey di Jawa Tengah telah saya kemukakan di
atas. Kekerasan baru dimulai saat pasukan RPKAD tiba di ibu kota provinsi
tersebut, Semarang, pada 17 Oktober, dan kemudian menyebar ke kota-kota kecil
dan desa-desa pada hari-hari berikutnya.82 Beruntunglah Jawa Barat lolos dari serbuan karena RPKAD harus
bergegas masuk Jawa Tengah, yang memang merupakan basis PKI. Relatif sedikit
pembunuhan yang terjadi di Jawa Barat walaupun pada masa sebelumnya terjadi
konflik tajam antara PKI dan organisasi anti-PKI.83
Kasus Bali memang patut ditilik, terutama karena mereka yang
berpegang pada tesis “kekerasan spontan” selalu menunjuk Bali sebagai bukti.
Mereka menyatakan masyarakat Bali melakukan pesta pembunuhan gila-gilaan
sampai saat pasukan RPKAD tiba awal Desember 1965 untuk menghentikan mereka.84 Pendapat ini salah dalam
mengemukakan kronologi kejadian yang sebenarnya. Sebelum pasukan RPKAD datang
pada 7 Desember, tidak ada pembunuhan berarti di Bali.85 Selama bulan-bulan Oktober dan
November situasi memang tegang. Gerombolan antikomunis menyerang dan membakar
rumah-rumah anggota PKI. Beberapa anggota partai ditangkap; sebagian lain
menyerahkan diri kepada polisi untuk mendapat perlindungan. Tapi tidak terjadi
pembantaian besar-besaran sebelum 7 Desember. Semua pemimpin PKI masih hidup
saat RPKAD tiba.86 Adalah RPKAD yang mengatur dan melaksanakan eksekusi para
pemimpin PKI Bali pada 16 Desember 1965 di Desa Kapal.87 Ada banyak saksi kejadian itu
karena RPKAD mengundang politisi-politisi antikomunis di Bali selatan untuk
menonton.88 Pembantaian
sekitar 30 orang ini, termasuk I Gde Puger, seorang pengusaha berada yang
dikenal sebagai penyandang dana untuk PKI walaupun ia bukan anggota partai,
mengungkapkan bahwa militer mendorong penduduk sipil untuk membunuh orang-orang
yang terkait dengan PKI. Mengingat RPKAD yang memulai pembunuhan itu, maka kita tidak bisa tidak memperkirakan bahwa pasukan parakomando
ini telah menerima perintah langsung dari Suharto untuk melakukannya.
Koordinasi antara Suharto dan RPKAD sangat erat: ia datang di Bali satu hari
setelah pasukan parakomando mendarat di sana.89
Orang-orang sipil yang terlibat dalam
pembunuhan, apakah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, atau tempat-tempat
lainnya, umumnya anggota milisi yang sudah dilatih oleh militer (baik sebelum
maupun sesudah 1 Oktober), dan diberi senjata, kendaraan, serta jaminan kebal
hukum. Mereka bukan sekadar orang-orang sipil biasa yang bertindak mandiri dari
militer. Walaupun dinamika interaksi setepatnya antara militer dan milisi
bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, secara kese-luruhan militer
memainkan peran dominan. Robert Cribb mencatat bahwa kelompok-kelompok milisi
ini umumnya tidak bertahan lama setelah 1966; banyak yang “kelihatannya segera
menghilang setelah tugas berdarah mereka selesai,” berbeda dengan, misalnya,
“laskar-laskar otonom yang lahir setelah 1945 dalam perang kemerdekaan melawan
Belanda” dan menjadi masalah bagi upaya monopoli militer terhadap angkatan
bersenjata pada 1950-an.90 Sejak 1965 militer secara rutin membentuk kelompok-kelompok
kelaskaran agar pada saat melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil yang
tidak bersenjata mereka selalu dapat mengingkari keterlibatan mereka.91 Tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa situasi kekerasan dalam 1965-1966 itu sendiri sangat berbeda.
Hal yang sering luput dari perhatian adalah
bahwa sejak awal pem-bunuhan-pembunuhan itu memang sengaja hendak dilupakan.
Dalam bukunya Silencing the Past, Michel-Ralph Trouillot menulis bahwa
orang “berperan serta dalam sejarah baik sebagai pelaku maupun pencerita.”92 Para pelaku sejarah sekaligus
menjadi pencerita tentang jejak langkah mereka sendiri. Cerita yang hendak
disampaikan si pelaku bisa jadi sangat berjalinan dengan jejak langkahnya
sendiri. Dalam kasus teror 1965-66, para perwira militer menghendaki cerita
tentang teror yang mereka lakukan, seperti halnya tentang para korban mereka,
lenyap. Mereka tidak bercerita tentang kampanye teror yang mereka lakukan saat
itu. Seperti ditulis Trouillot: “Sejarawan profesional sendiri tidak menyusun
kerangka naratif untuk menempatkan cerita-cerita mereka. Sering kali ada orang
lain yang sudah masuk pentas lebih dulu dan mengatur lingkaran kebisuan.”93 Suharto yang merencanakan pembunuhan namun ia me-mastikan bahwa
ia tidak dapat dibuktikan sebagai dalangnya. Saat pem-bunuhan-pembunuhan
terjadi ia tidak menyinggungnya sama sekali, tapi memuji-muji proses abstrak
tentang penghancuran PKI “sampai ke akar-akarnya.”94 Caranya menutupi dan sekaligus
memuji pembunuhan itu mirip dengan cara yang dipakai para pelaku genosida di
Rwanda: “Serang korban secara verbal, bantah – bahkan di hadapan bukti yang
paling jelas sekalipun – bahwa telah atau sedang terjadi kekerasan fisik dan
hindari masalah tanggung jawab sehingga, sekalipun ada korban, identitas para
pembunuh tetap kabur dan tidak dapat dipastikan, hampir lebur dalam ketiadaan.
Saat berbicara kepada para pendukungmu jangan pernah menuntut ‘penghargaan’
atas apa yang sesungguhnya kamu perbuat tetapi isyaratkan keuntungan besar yang
diperoleh dari perbuatan-perbuatan tak bernama yang telah dilakukan, berbagi
persekongkolan dalam rahasia tak terkatakan dengan pendengarmu.”95
Kesimpulan yang saya tarik dari literatur
yang tersedia dan dari wawancara dengan para korban, pelaku, dan saksi ialah
bahwa pada umumnya pembunuhan itu merupakan eksekusi terhadap tawanan.
Berlawanan dengan keyakinan umum, kekerasan gila-gilaan oleh penduduk desa
bukanlah merupakan pola. Biasanya pasukan Suharto memilih melakukan
penghilangan misterius ketimbang eksekusi di depan publik untuk memberi contoh
kepada masyarakat. Tentara dan milisi cenderung melancarkan pembantaian
besar-besaran secara rahasia: mereka mengambil para tahanan dari penjara pada
malam hari, membawa mereka dengan truk ke tempat-tempat terpencil, mengeksekusi
mereka, lalu mengubur jasad-jasad mereka dalam kuburan massal tanpa tanda, atau
melemparnya ke sungai.96
Jika dibandingkan dengan pembunuhan massal
itu, G-30-S tampak seperti peristiwa kecil saja. Buku ini saya beri judul Dalih
Pembunuhan Massal untuk menekankan bahwa arti penting sesungguhnya
G-30-S terletak pada hubungan gerakan ini dengan peristiwa yang
mengikutinya. Gerakan 30 September menjadi peristiwa penting hanya karena
Suharto dan para perwira di sekitarnya pada awal Oktober 1965 memutuskan untuk
membuat peristiwa itu menjadi penting: mereka mengeramat-kan G-30-S, maksudnya,
mereka berikan arti penting yang lebih besar dari yang sebenarnya termuat dalam
gerakan ini. Mereka menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk membenarkan langkah-langkah yang
memang sudah mereka rencanakan lebih dulu terhadap PKI dan Presiden Sukarno.
Mungkin personil militer dan orang-orang sipil yang bertang-gung jawab terhadap
teror itu terus-menerus berbicara tentang G-30-S untuk mengalangi pembicaraan mengenai
kejahatan mereka sendiri. Mungkin mereka melebih-lebihkan sifat jahat G-30-S
dan PKI untuk menenangkan batin mereka sendiri. Ketika mereka mengakui
terjadinya pembunuhan massal, mereka mengatakan G-30-S-lah penyebab
terjadinya pembunuhan, seakan-akan kematian ratusan ribu orang dan penahanan
terhadap satu juta lebih lainnya merupakan tanggapan tidak terhindar-kan, yang
setimpal dan alamiah. Inilah narasi penyalahan korban yang selama ini terpatri
sebagai ajaran umum.97
Sebagai dalih, G-30-S sepadan dengan
pembakaran Reichstag, gedung parlemen Jerman, yang oleh Hitler digunakan
sebagai alasan untuk menghancurkan Partai Komunis Jerman pada awal 1933. Polisi
Berlin memastikan temuan bahwa api di dalam ruang utama gedung tersebut disulut
oleh seorang radikal Belanda, yang baru masuk kota sepuluh hari sebelum
peristiwa itu terjadi.98 Tapi Hitler, bahkan sebelum mendengar hasil temuan polisi,
sudah memutuskan bahwa pembakaran gedung parlemen itu merupakan awalan
pemberontakan nasional Partai Komunis. Dalam jam-jam pertama setelah api
menyala pada pagi 27 Februari, polisi mulai menangkapi orang-orang komunis.
Tokoh-tokoh Nazi menyatakan bahwa mereka melihat para pembakar gedung bersama
tokoh-tokoh komunis sebelum memasuki gedung dan bahwa partai merencanakan
membakar lebih banyak gedung lagi, meracuni dapur umum, menculik istri dan
anak-anak pejabat pemerintah, dan menyabot jaringan listrik serta kereta api.
Kepada kabinetnya Hitler mengatakan, satu hari setelah kebakaran: “Secara
psikologis sekarang sudah tiba waktu yang tepat untuk konfrontasi. Tak ada guna
menunggu lebih lama lagi.”99 Puluhan ribu anggota Partai Komunis ditangkap selama
pekan-pekan berikutnya dan ditahan di kamp-kamp konsentrasi Nazi yang pertama,
seperti misalnya kamp konsentrasi Dachau. Kebakaran Reichstag merupakan dalih
yang sangat tepat untuk membenarkan penggem-puran yang sudah direncanakan oleh
kaum antikomunis Nazi. Suasana krisis yang direkayasa membuka pintu bagi mereka
untuk mengesahkan undang-undang yang mencabut banyak pasal-pasal konstitusi dan
dengan begitu
mencabut hak-hak sipil semua orang Jerman.
Ada banyak kemiripan antara G-30-S dan
kebakaran Reichstag: keputusan yang sudah ditetapkan sebelumnya untuk menyerang
Partai Komunis, propaganda yang membesar-besarkan bahaya yang datang dari
partai, penahanan massal di kamp-kamp konsentrasi, keadaan darurat bikinan yang
dimanfaatkan sebagai saat untuk merebut kekuasaan dikta-torial. Namun begitu
analogi ini tidak tepat benar. Dalam kasus G-30-S, ketua PKI bagaimana pun juga
terlibat (D.N. Aidit berada di pangkalan AURI Halim) dan beberapa personil PKI
ikut berperan serta. PKI tidak dapat dibebaskan sama sekali dari hubungannya
dengan G-30-S seperti halnya Partai Komunis Jerman dibebaskan dari peristiwa
kebakaran Reichstag. Namun, apa pun hubungan antara PKI dan G-30-S tidak dengan
sendirinya memadai untuk membenarkan kekerasan terhadap siapa pun yang
berkaitan dengan partai.
Suharto menjalankan pengambilalihan
kekuasaan negara di balik selubung prosedur hukum. Ia menyembunyikan kudeta
merangkaknya sebagai tindakan murni konstitusional dengan restu Sukarno untuk
menggagalkan kup PKI. Suharto tetap mempertahankan Sukarno sebagai presiden di
atas kertas sampai Maret 1967, satu setengah tahun setelah ia kehilangan
kekuasaan efektifnya. Sukarno mengeluarkan protes lisan, tetapi kata-katanya
tak berdaya karena sejak pekan pertama Oktober 1965 militer telah menguasai
media massa. Ia bahkan kalah dalam memberi nama peristiwa itu sendiri. Sebagai
usaha menghentikan media massa yang menggunakan sebutan konotatif Gestapu
untuk G-30-S, maka pada sidang kabinet 9 Oktober 1965 Sukarno mengajukan
sebutan Gestok sebagai akronim dari Gerakan Satu Oktober.100 Media yang telah dikuasai
militer tak acuh kepadanya dan tetap bersikukuh dengan sebutan Gestapu.
Walaupun Sukarno menyadari bahwa militer berangsur-angsur menggerogoti kekuasaannya,
ia menahan diri dan tidak melancarkan tentangan secara serius. Alasan mengapa
ia mau memainkan peran yang dirancang Suharto untuknya masih sulit dimengerti.
Jika kita menyimak pidato-pidatonya tampak bahwa Sukarno terutama
mengkhawatirkan Indonesia akan dipecah belah oleh apa yang disebutnya
kekuatan-kekuatan “imperial, kolonial, dan neokolonial,” gabungan musuh bersama
yang ia singkat menjadi nekolim.101 Sukarno khawatir bahwa jika ia berusaha menggalang pendukungnya
melawan Suharto, akan terbuka jalan bagi perang saudara tak terkendali yang malah akan
meng-untungkan nekolim. Dalam kekacauan serupa itu Indonesia akan terbagi
menjadi negeri kecil-kecil, lalu Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan
negara-negara lain akan datang untuk menancapkan kawasan pengaruh
masing-masing. Karena obsesinya terhadap kesatuan negerinya, Sukarno tampaknya
percaya bahwa pertumpahan darah, betapapun mengerikan, masih lebih baik
daripada Indonesia sebagai negara bangsa musnah dan kembali ke kekuasaan asing.
Ia memilih memenuhi kemauan Suharto, membiarkan wewenangnya digerogoti, dan
akhirnya keluar dari istana tanpa perlawanan.102
Bahkan di masa pasca-Suharto, kebanyakan
orang Indonesia tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya Suharto naik ke tampuk
kekuasaan. Sekarang ia dikutuk karena korupsi dan keserakahannya yang
mence-ngangkan, tapi bukan karena penggambarannya tentang G-30-S yang tidak
benar dan pembunuhan massal yang dilakukannya. Jejak berdarah yang mengawali
kekuasaannya hampir tidak pernah diamati dengan kritis dan cermat. Kebanyakan
kampiun gerakan reformasi anti-Suharto (misalnya Megawati Sukarnoputri atau
Amien Rais) membangun karir politik mereka semasa Suharto dan tetap berpegang
pada mitos-mitos resmi mengenai 1965. Monumen Kesaktian Pancasila masih tetap
berdiri tegak. Peringatan resmi setiap tahun masih tetap diadakan meskipun
tanpa kemegahan yang sama seperti dahulu.103 Parlemen pasca-Suharto tetap mempertahankan hukum yang melarang
pembicaraan publik mengenai Marxisme-Leninisme dan keterlibatan eks-tapol (dan
anak cucu mereka) dalam partai politik.104 Pembuatan film tentang Soe Hok Gie, seorang pemuda yang aktif
dalam demo-demo anti-PKI dan anti-Sukarno (yang belakangan menyesali
perbuatannya), dalam 2004-05 harus meminta izin polisi untuk menggunakan
bendera palu arit PKI sebagai perlengkapan dan harus menyetujui untuk
menyerahkan bendera-bendera itu kepada polisi untuk segera dibakar sesudah
pembuatan film selesai.105 Rezim Suharto membangun sebuah dunia fantasi tersendiri, yang
unsur-unsurnya, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965, terbukti masih
bertahan gigih untuk tampak sebagai kebenaran abadi bagi bangsa Indonesia.
Peninjauan kembali terhadap awal kelahiran sang rezim, yakni ‘perebutan
kekuasaan tak masuk akal’ oleh Suharto (meminjam istilah Pascal), sudah lama
tertunda.
CATATAN
1 Dalam pidato-pidatonya sesudah
terjadi G-30-S, Sukarno berulang kali menyebut kejadian itu sebagai sebuah “rimpel
in de geweldige oceaan” (riak di samudra luas). Ia membandingkan proses
revolusioner di Indonesia dengan lautan bergelora, yang terus-menerus
menimbulkan puncak dan lembah di permukaan air laut. Lihat, misalnya, pidatonya
pada saat melantik Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat pada 16 Oktober
1965, dalam Setiyono dan Triyana, ed., Revolusi Belum Selesai, I: 22-23,
38.
2 Tentang jumlah tahanan
politik, lihat esai pengantar Robert Cribb dalam buku yang disuntingnya, Indonesian
Killings, 42, dan Fealy, Release of Indonesia’s Political Prisoners,
lampiran.
3 Semua taksiran tentang jumlah
orang yang dibunuh hanya perkiraan. Penelitian yang cermat dan menyeluruh belum
pernah dilakukan. Komisi pencari fakta yang ditunjuk Presiden Sukarno
melaporkan pada Januari 1966 bahwa terdapat 78.500 orang mati dibunuh. Angka
ini sengaja diperkecil oleh sebuah komisi yang dikuasai perwira-perwira militer
dan yang mendasarkan laporannya pada informasi dari kalangan perwira militer
juga. Salah satu dari dua orang sipil di dalam komisi, Oei Tjoe Tat, mengatakan
bahwa secara pribadi ia menyampaikan kepada Sukarno, jumlah sebenarnya
mendekati angka 500.000 atau 600.000 (Toer dan Prasetyo, eds., Memoar Oei
Tjoe Tat, 192). Pembahasan tentang angka perkiraan ini, lihat Cribb, “How
Many Deaths?”
4 Pimpinan inti, seperti yang
akan saya uraikan dalam Bab I, ialah dua tokoh sipil, Sjam dan Pono, serta tiga
perwira militer: Letnan Kolonel Untung, Mayor Soejono, dan Kolonel Abdul
Latief.
5 Pidato pembelaan Kolonel
Latief diterbitkan sendiri di Eropa bersamaan dengan saat ia diadili. Teks ini
diterbitkan ulang di Indonesia sesudah Suharto jatuh (Latief, Pledoi Kol.
A. Latief). Banyak orang, termasuk saya, meminta kepada Latief agar
menjelaskan G-30-S dengan lebih rinci. Jawaban standar Latief selalu
meminta penanya agar membaca pidato pembelaan yang telah diterbitkannya itu.
Penolakannya untuk menulis tentang G-30-S bukan disebabkan oleh kehilangan
memori. Pada akhir 1980-an, ketika masih dalam penjara, ia pernah menulis
secara rinci naskah 118 halaman, lengkap dengan delapan diagram, tentang
pertempuran tunggal yang terjadi enam belas tahun sebelum G-30-S (“Serangan
Umum 1 Maret 1949”). Ia meninggal karena sakit pada umur 78 tahun pada 6 April
2005 di Jakarta.
6 Tentang
kisah-kisah ini, lihat Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 291-327.
7 Ricklefs, History of Modern
Indonesia, 268.
8 Cribb dan Brown, Modern
Indonesia, 97.
9 Pemerintah telah menerbitkan
sejarah monumen itu: Departemen Pendidikan dan Ke-budayaan, Hakekat
Pembangunan Monumen Pancasila Sakti.
10McGregor, “Commemoration
of 1 October, ‘Hari Kesaktian Pancasila,’” 43.
11Sebuah pamflet yang dijual di museum (Pusat Sejarah dan Tradisi
ABRI, Buku Panduan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya) dengan sangat baik mencantumkan daftar diorama. Dari 42
diorama, 15 menggambarkan insiden dari 1945 sampai 1948, ketika PKI terlibat
dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda.
12
Museum Sejarah Monumen
Nasional yang terletak di lantai dasar Monumen Nasional, di tengah Lapangan
Merdeka, juga tidak menyebut PKI dalam perlawanan terhadap penjajah. Rencana
pertama museum itu, yang ditulis oleh sebuah panitia di bawah pengawasan
Sukarno pada 1964, mengusulkan sebuah diorama yang menggambarkan pemberontakan
PKI 1926 di Banten. Setelah mengambil alih kekuasaan, Suharto mencampakkan
rencana itu dan menyusun sebuah panitia baru pada 1969 di bawah pengawasan sejarawan
Nugroho Notosusanto. Lihat McGregor, “Representing the Indonesian Past,”
105-106.
13Badiou, Ethics,
41.
14
Empat novel Pramoedya
Ananta Toer, yang ditulisnya ketika menjadi tapol rezim Suharto, yaitu
tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah,
dan Rumah Kaca), dapat dibaca sebagai penemuan kembali asal-usul
gerakan nasionalis. Judul-judul dua novelnya yang pertama itu saja
mencerminkan universalisme di balik sebuah gerakan untuk suatu partikularitas
baru. Dalam karya-karya Pramoedya, bangsa Indonesia tidak tampil sebagai
pendesakan chauvinisme etnik atau kultural, tapi lebih merupakan suatu
persekutuan antara orang-orang yang menentang chauvinisme serupa itu. Novel
pertama tetralogi ini didedikasikan untuk Han, nama panggilan seorang ilmuwan
Belanda, Gertrudes Johan Resink.
15
Badiou, Ethics,
73-74. Untuk ulasan lebih luas tentang pendapat Badiou mengenai peristiwa dan
kebenaran, lihat Hallward, Badiou, 107-80.
16
Bagian pelestarian sejarah
militer, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, menerbitkan empat jilid buku mengenai
sejarah PKI: Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. Lihat juga Dinuth,
Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis; dan Suyitno, Pemasyarakatan Bahaya Laten Komunis.
17Suharto membentuk Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Keter-tiban) pada 10 Oktober 1965 dan mendapat persetujuan dari Sukarno
pada 1 November 1965. Selanjutnya kehadiran Kopkamtib selalu samar-samar karena
bukan merupakan badan pemerintah dengan birokrasi tersendiri. Suharto
merancangnya lebih sebagai fungsi khusus di tubuh militer. Hampir semua
personilnya adalah perwira yang sekaligus memegang jabatan dalam struktur
militer yang reguler. Southwood dan Flanagan mengatakan bahwa keberadaan Kopkamtib
mencerminkan adanya keadaan darurat permanen, tapi mereka keliru menganggapnya
sebagai badan yang berdiri sendiri. Southwood dan Flanagan, Indonesia,
bab 4. Aturan yang terkait dengan lembaga itu dikumpulkan dalam Kopkamtib,
Himpunan Surat-Surat Keputusan/Perintah yang Berhubungan dengan
Kopkamtib 1965-1969. Adalah Presiden
Abdurrahman Wahid yang kemudian membubarkan pewaris Kopkamtib, Bakorstanas,
pada 2000.
18Schmitt, Political
Theology, 5.
19Stewart Sutley membuat analisis yang bernas mengenai keadaan
darurat pada 1965-66 dalam kerangka teori Schmitt: “The Indonesian ‘New Order’
as New Sovereign Space.”Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya) dengan sangat baik mencantumkan daftar diorama. Dari 42
diorama, 15 menggambarkan insiden dari 1945 sampai 1948, ketika PKI terlibat
dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda.
Satu-satunya kekurangan yang saya catat
adalah bahwa ia gagal memahami upaya Suharto menormalisasi keadaan darurat.
20Giorgio Agamben memberikan analisis yang tajam mengenai dua
paradoks ini: hukum yang menyatakan hukum tidak berlaku, dan kekecualian yang
berubah menjadi aturan (dengan begitu meniadakan pembedaan antara kekecualian
dan aturan). Karena Schmitt ingin menjaga keadaan kekecualian sebagai siasat
sementara yang akan menjadi produktif bagi rule of law, maka ia tidak
dapat menerima wawasan dari salah satu tesis Walter Benjamin yang terkenal
mengenai sejarah bahwa “tradisi kaum tertindas mengajarkan kepada kita bahwa
‘keadaan kekecualian’ tempat kita hidup sesungguhnya merupakan aturan.”
Agamben, State of Exception, 52-88. Tentang domestikasi Schmitt terhadap
keadaan kekecualian, lihat McCormick, “Dilemmas of Dictatorship.”
21Heryanto, “Where
Communism Never Dies.”
22National Security Archives, wawancara untuk seri televisi CNN,
“The Cold War,” wawancara dengan Marshall Green, 15 Januari 1997, yang tersedia
di situs http://www.
gwu.edu/~nsarchiv/coldwar/interviews/episode-15/green6.html
23
Dokumen ini disiapkan bersama
oleh CIA, NSA (National Security Agency), DIA (Defense Intelligence Agency),
dan seksi intelijen Departemen Luar Negeri. Judulnya meng-gambarkan isinya:
“Prospects for and Strategic Implications of a Communist Takeover in Indonesia”
(Prospek dan Implikasi Strategis dari Pengambilalihan Kekuasaan oleh Kaum
Komunis di Indonesia). (Foreign Relations of the United States, 1964-1968
[selanjutnya
FRUS], 26:
290, www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/#FRUS).
24 Kolko, Confronting the Third World, 174. Lihat juga T.
McCormick, America’s Half-Century, 100, 111, 114-118.
25Dikutip dalam Shoup dan
Minter, Imperial Brain Trust, 234-236.
26Ibid., 236. Pernyataan kebijakan
pada 1952 itu adalah memorandum National Security Council (NSC) 124/1.
Pernyataan pada 1954 adalah memorandum NSC 5405.
27Dikutip dalam Scott,
“Exporting Military-Economic Development,” 241.
28Richard M. Nixon, “Asia After Vietnam,” 111.
29 William Bundy, prakata untuk Marshall Green, Indonesia,
xi. Bundy saat itu Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan
Pasifik dari 1964 sampai 1969.
30McNamara, In
Retrospect, 214.
31Ibid., 270.
32
Ibid., 215. McGeorge Bundy, penasihat keamanan nasional untuk
Kennedy dan Johnson, juga menegaskan bahwa Vietnam tidak lagi merupakan
kepentingan yang vital, “paling tidak sejak adanya revolusi antikomunis di
Indonesia” (dikutip dalam John Mueller, “Reassessment of American Policy,” 52).
Keputusan pemerintah Johnson pada awal sampai medio-1965 untuk meningkatkan
perang secara dramatik (dengan pemboman atas Vietnam Utara dan memasukkan
pasukan darat AS ke Vietnam Selatan) tidak dengan berpedoman pada teori domino.
Seperti ditunjukkan George Kahin, pemerintah AS terutama prihatin pada 1965 dengan
konsekuensi-konsekuensi simbolis akan kemungkinan jatuhnya Vietnam Selatan ketangan kaum komunis. Para pejabat AS ingin menghindari rasa
terhina dan memperingatkan bangsa-bangsa lain bahwa perlawanan terhadap tentara
AS akan menanggung harga mahal, bahkan seandainya pun perlawanan itu pada
akhirnya menang (G. Kahin, Intervention, 283, 312-314, 356-358, 363,
375, 390-393). Untuk teori domino, lihat juga Porter, Perils of
Dominance, 243-258.
33New York Times, 11 Oktober
1965, hal. 1.
34New York Times, 19 Juni 1966,
hal. 12E.
35Time (edisi Kanada), 15 Juli 1966,
hal. 44.
36Dikutip dalam Noam Chomsky, Year 501, 126.
37Chomsky dan Herman, The Political Economy of Human Rights,
I: 205-217.
38 Saya penyunting bersama sebuah kumpulan esai mengenai pengalaman
para korban: Roosa, Ratih, dan Farid, eds., Tahun yang Tak Pernah Berakhir.
39 Peter Dale Scott, yang mempelajari G-30-S dan juga pembunuhan
terhadap Kennedy, mengajukan istilah deep politics untuk mengacu pada
aspek-aspek negara yang diraha-siakan, “semua praktek dan perencanaan politik
yang, sengaja atau tidak, biasanya ditutupi ketimbang diakui.” Yang dimaksud,
misalnya, penggunaan sindikat-sindikat kejahatan yang terorganisir oleh negara
(Deep Politics and the Death of JFK, 7, 10). Buku puisi Scott Coming
to Jakarta merupakan renungan mendalam tentang keterlibatan orang-orang
Amerika Utara yang beradab, terpelajar di dalam kekejaman di
negeri-negeri seperti Indonesia, Vietnam, dan Cile.
40 Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, 6: 265-267. Dokumen
Supardjo juga disebut sambil lalu dalam dua buku yang baru terbit, Katoppo, Menyingkap
Kabut Halim 1965, 132-33, 255, dan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu,
8. Sulistyo mengutip dokumen itu hanya untuk membuktikan hal kecil bahwa G-30-S
tidak memberikan persediaan makan bagi pasukannya.
41
Rekaman sidang Mahmilub
terhadap Supardjo pada 1967 tersedia di Museum TNI Satria Mandala, Jakarta, dan
Kroch Library di Cornell University. Bagian-bagian tertentu dari rekaman sidang
Supardjo digunakan oleh Crouch, The Army and Politics in Indonesia, 115,
127, 128, 132. Sebelumnya ada juga penemuan sumber primer penting yang
terpendam di dalam rekaman Mahmilub. Awal 1980-an, saat membaca rekaman sidang
Letkol Heru Atmodjo, Benedict Anderson menemukan laporan otopsi jasad tujuh
perwira yang dibunuh G-30-S di Jakarta. Suharto menyembunyikan laporan itu,
tapi militer melampirkannya dalam beberapa rekaman sidang Mahmilub sebagai
bukti, tanpa menyadari akibatnya di masa mendatang (Anderson, “How Did the
Generals Die?”)
42Fic, Anatomy of the Jakarta Coup. Victor Fic (1922-2005)
seorang ilmuwan politik, yang mulai menulis tentang Indonesia pada 1960-an.
Selain dokumen Supardjo, buku Fic tidak memuat sesuatu yang baru, baik dalam
hal sumber maupun cara analisis. Ia mengandalkan laporan interogasi militer dan
dokumen Mahmilub, dan mengulang argumen-argumen yang dikemukakan dalam
publikasi-publikasi rezim Suharto. Pendapat Fic bahwa baik pemerintah Tiongkok
maupun Presiden Sukarno terlibat dalam G-30-S didasarkan atas spekulasi
belaka.
43
Sugiarto, putra Supardjo,
dalam pembicaraan dengan saya mengonfirmasi bahwa dokumen tersebut ditulis oleh
ayahnya.
44
Hasan meminta saya
mengumumkan nama dan menerbitkan memoarnya setelah ia wafat. Begitu identitas
dan kisah hidupnya diungkap, akan jelas bahwa ia memang berposisi untuk
memiliki informasi tangan pertama mengenai kejadian-kejadian yang
diceritakannya.
45 Siauw, “Berbagai Catatan dari Berbagai Macam Cerita.” Tulisan
Siauw lainnya yang tidak diterbitkan, “The Smiling General Harus Dituntut ke
Mahkamah,” berisi beberapa informasi yang sama.
46
Baperki adalah singkatan
dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Mengenai kegiatannya
lihat Coppel, Indonesian Chinese in Crisis. Tentara melarang organi-sasi
ini pada akhir 1965 dan menangkap sebagian besar anggotanya. Mengenai Siauw
lihat biografi informatif yang disusun putranya, Siauw Tiong Djin, Siauw
Giok Tjhan.
47 Soebandrio, Kesaksianku tentang G-30-S. Gramedia,
penerbit terbesar di Indonesia, semula bermaksud menerbitkan buku itu. Tapi
tanpa mengemukakan alasannya, mereka membatalkan penerbitannya dan
menghancurkan 10.000 eksemplar yang sudah dicetak. Lihat Gamma, 8-14
November 2000, 16-17; Tempo, 4 Februari 2001, 68-69. Naskah itu sekarang
sudah menjadi milik umum. Banyak orang dan kelompok di Indonesia yang kemudian
menerbitkannya sendiri.
48 Surodjo
dan Soeparno, Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku. Mingguan
Tempo memuat laporan khusus mengenai
Dani, 4 Februari 2001, 60-65.
49Katoppo, Menyingkap
Kabut Halim 1965.
50Berkas itu ialah Indonesia, Malaysia-Singapore, Philippines,
vol. 26 of Department of State,
FRUS
1964-68. Lihat catatan kaki 23 untuk mengakses bahan ini melalui
internet.
51Darnton, “It Happened One Night,” 60. Saya berterima kasih
kepada Courtney Booker yang memberitahu saya mengenai esai tinjauan ini.
52Ritchie, Rashomon,
87.
53Darnton, “It Happened One Night,” 60.
Pada kesempatan arahan pers pada 12 Februari 2002, Menteri Pertahanan AS
Rumsfeld menyatakan, “Ada hal-hal yang sudah diketahui. Ada hal-hal yang kita
tahu bahwa kita tahu. Kita juga tahu ada hal-hal tidak diketahui yang kita
ketahui. Maksud saya, kita mengetahui ada hal-hal yang kita tidak ketahui. Tapi
juga ada hal-hal yang tidak kita ketahui kita tidak tahu, hal-hal yang kita
tidak ketahui.” Pernyataan ini bermaksud menanggapi laporan intelijen palsu
tentang senjata pemusnah massal di Irak. Sebagai sebuah permakluman mengenai
laporan tersebut, pernyataan Rumsfeld ini merupakan pengaburan masalah. Tetapi,
pernyataan itu sendiri bukanlah omong kosong seperti dituduhkan para
pengkri-tiknya. Masalahnya terletak pada keterbatasannya. Ia tidak menyebutkan
kategori keempat yang pokok dalam psikoanalisis: yang diketahui tidak
diketahui, atau hal-hal yang kita ketahui tapi kita tidak mengakui bahwa
mengetahui. (Zizek, “What Rumsfeld Doesn’t Know That He Knows about Abu
Ghraib”).
55Kisah detektif dari genre lebih tua biasanya sibuk dengan
penjahat individual dan bukan pelaku kolektif. Kesulitan umum dalam menentukan
siapa yang menjadi pelaku dalam kasus pembunuhan massal adalah sifat kekerasan
birokratik yang impersonal: pejabat di atas mengaku tidak mengetahui apa yang
dilakukan bawahan, sementara bawahan mengaku bertindak mengikuti perintah dari
atasan. Mungkin saja ambiguitas dan impersonalitas yang inheren dalam kekerasan
birokratik inilah yang telah menghambat munculnya genre sastra yang akan
menokohkan para penyelidik hak asasi manusia di masa kini.
56
Sukarno menggunakan
analogi ini dalam pidato 27 Oktober 1965 (Setiyono dan Triyana, eds., Revolusi
Belum Selesai, I: 61-62).
57
Korban terdiri dari enam jenderal Angkatan
Darat, seorang letnan, anak perempuan Jenderal Nasution yang berumur lima
tahun, seorang pengawal di rumah Leimena (tetangga Nasution), kemenakan Brigjen
Pandjaitan yang berumur dua puluh empat tahun, dan dua perwira Angkatan Darat
di Jawa Tengah. Kemenakan Pandjaitan yang lain luka parah akibat tembakan.
Daftar ini didasarkan pada catatan Angkatan Darat. Pada kesempatan upacara di
Lubang Buaya pada 1 Oktober 1966 Angkatan Darat membagikan laporan singkat
berbahasa Indonesia tentang G-30-S. Laporan ini diterjemahkan Kedutaan Besar Kanada
(Canadian Embassy, Jakarta, to Under-Secretary of State for External Aairs,
Ottawa, “Anniversary of Last Year’s Abortive Coup”, 11 Oktober 1966). Saya
mengucapkan terima kasih kepada David Webster yang telah mengirim salinan
dokumen ini kepada saya.
58Anderson dan McVey, Preliminary
Analysis, 63.
59Tangan kanan Suharto, Letkol Ali Moertopo, saat berceramah di
hadapan sekelompok pejabat pemerintah, menyatakan bahwa sebelum 1965 pengaruh
PKI sangat meluas: “Orang Indonesia dipengaruhi komunisme sebagai sistem
berpikir begitu lamanya sehingga bisa dikatakan sebagai cara berpikir orang
Indonesia” (Bourchier dan Hadiz, eds., Indonesian Politics and
Society, 110). Pernyataan ini berlebihan. Sukarno sebenarnya jauh lebih
ber-pengaruh daripada PKI. Para pejabat rezim Suharto, seperti Ali Moertopo,
tidak pernah sampai mengutuk Sukarno, tapi watak antikomunis mereka
mengharuskan mereka bermu-suhan terhadap salah satu prinsip Sukarno yang paling
dikobar-kobarkan, yaitu Nasakom, persatuan kaum nasionalis, agama, dan komunis.
Pada 1926 Sukarno sudah menyerukan agar orang-orang dari tiga aliran ini untuk
mengenali kepentingan bersama mereka dan bersatu demi perjuangan nasionalis. Ia
mengakui peran PKI dalam politik nasional. Sukarno,
Nationalism,
Islam and Marxism.
60 Untuk renungan yang mendalam tentang psikologi penyangkalan,
lihat Cohen, States of Denial.
61 Satu contoh utama tentang kebungkaman yang demikian tertata ini
dapat ditemukan dalam Notosusanto dan Saleh, The Coup Attempt of the
‘September 30 Movement’ in Indonesia.
62Suharto, Pikiran,
Ucapan, dan Tindakan Saya, 114.
63“Surat Perintah 11 Maret untuk mengatasi situasi konflik ketika
itu,” Kompas, 11 Maret 1971, hal. 1, 12.
64Cribb, ed., Indonesian
Killings 1965-1966, 16.
65 Karnow, “First Report on Horror in Indonesia,” Washington
Post, 17 April 1966, 1, 20; Seth King, “The Great Purge in Indonesia,” New
York Times Magazine, 8 Mei 1966; Seymour Topping, “Slaughter of Reds Gives
Indonesia a Grim Legacy,” New York Times,
24 Agustus
1966, 1, 16.
66Karnow, “First Report on
Horror,” 20.
67Topping, “Slaughter of Reds,” 16.
68Ibid.
69Dikutip dalam Newfield, Robert Kennedy, 71.
70Time (edisi Kanada), 15 Juli 1966,
30-31.
71
C.L. Sulzberger, “Foreign Aairs: When an
Nation Runs Amok,” New York Times, 13 April 1966, 40.
72Don Moser, “Where the
Rivers Ran Crimson from Butchery,” Life, 1 Juli 1966, 26-28.
73 Shaplen, Time Out of Hand, 128. Buku ini berdasar
pada karangan-karangan Shaplen tentang Asia Tenggara di New Yorker.
74Ibid., 26.
75Ibid., 128.
76Geertz, After the Fact, 10.
77Geertz, Interpretation of Cultures, 452 n. 43.
78Friend, Indonesian Destinies, 99, 113, 115.
79
Sebuah laporan yang
diterbitkan tentara mencatat bahwa Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)
mulai menggulung ribuan orang yang dicurigai sebagai anggota PKI di Jawa Tengah
pada 18 Oktober 1965: “Dalam melaksanakan gerakan pembersihan, RPKAD tidak
menjumpai perlawanan sedikit pun dari sisa-sisa kaum pemberontak.” Dengan kata
lain, “para pemberontak” itu tidak di dalam proses memberontak pada saat mereka
ditangkap (Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Cuplikan Sejarah
Perjuangan TNI-Angkatan Darat, 506.
80 Gestapu jelas merupakan akronim yang dibikin-bikin. Bahasa
Indonesia biasanya membangun akronim dengan menggabungkan suku kata-suku kata,
terkadang huruf-huruf, dari sejumlah kata dalam susunan yang menampakkan suku
kata-suku katanya. Dalam Gestapu, huruf “s” itu tidak menurut aturan
susunan katanya.
81
Uraian paling rinci
mengenai propaganda militer dalam bulan-bulan setelah G-30-S adalah Wieringa, Sexual
Politics in Indonesia, 291-317.
82 Sebuah karangan yang berdasarkan riset sejarah lisan memberi
penegasan dengan rinci terhadap pendapat Anderson dan McVey. Lihat Hasworo,
“Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S.”
83Wawancara dengan mantan anggota PKI di Jawa Barat: Djayadi, 1
April 2001, Tasikma-laya; Rusyana, 11 Juli 2001, Jakarta. Keduanya nama
samaran.
84Hughes, End of Sukarno,
bab 15, berjudul “Frenzy on Bali.” Lihat juga Elson, Suharto,125
85Analisis paling jitu mengenai pembunuhan di Bali dilakukan oleh
Robinson, The Dark Side of Paradise, 273-303.
86 Ini berdasarkan wawancara saya dengan janda dari seorang mantan
pimpinan PKI di Denpasar, Ibu Tiara (nama samaran), 15 Agustus 2000, dan Ibu
Puger, 11 Januari 2001.
87
Tanggal ini disebutkan
oleh Wayan, nama samaran seseorang yang ditahan bersama I Gde Puger, salah
seorang di antara orang-orang yang dibunuh di Kapal. Wayan mengingat tanggal
ketika Puger dibawa keluar oleh tentara pada malam hari untuk dieksekusi. Wawancara
dengan Wayan, 12 Juli 2004, Ubud.
88 Wawancara dengan I Wayan
Dana, 6 Januari 2001, Denpasar; Pugeg, 3 September 2000, Denpasar; Kompyang
Suwira, 2 September 2000, Denpasar; I Ketut Reti, 7 Januari 2001; Poniti, 24
Agustus 2000, Kapal.
89Robinson, The Dark
Side of Paradise, 295.
90Cribb, “Genocide in Indonesia, 1965-1966,” 235.
91Kasus yang paling terkenal adalah referendum di Timor Leste pada
1999. Militer memo-bilisasi milisi untuk mengintimidasi pemilih agar mendukung
integrasi dengan Indonesia. Setelah hasil referendum diumumkan, militer dan
milisi menghancurkan Timor Leste sebagai tindak balas dendam, membunuh ratusan
orang, dan memindahkan sekitar 250.000 orang secara paksa ke Timor Barat, dan
membakar sekitar 70 persen dari bangunan yang ada. (Martinkus, A Dirty
Little War; Bartu, “The Militia, the Military, and the People of
Bobonaro”).
92Trouillot, Silencing
the Past, 2.
93Ibid., 26.
94
Dalam pernyataannya kepada
masyarakat Jawa Tengah, November 1965, Suharto me-nyerukan penghancuran Gerakan
30 September “sampai pada ke akar-akarnya.” (Dinuth,
Dokumen
Terpilih Sekitar G-30-S/PKI, 137).
95Prunier, The Rwandan Crisis, 241. Dalam argumennya bahwa
kaum chauvinis Hutu yang melakukan pembunuhan mengharapkan dunia internasional
tidak campur tangan, Prunier mengajukan pertanyaan retoris, “Siapa yang ingat
tentang setengah juta orang Tionghoa yang dibunuh atas perintah Presiden
Suharto di Indonesia pada 1965?” (229). Pertanyaannya mengenai ingatan ini
menarik karena mengungkap betapa buruk ingatan orang tentang pembunuhan massal
di Indonesia. Keliru gagas yang umum terjadi menyatakan hanya orang Tionghoa
saja yang dibunuh dalam peristiwa itu. Kendati ada orang Tionghoa yang dibunuh,
mereka tidak menjadi sasaran sebagai kelompok. Beberapa orang Tionghoa dengan
sukarela bekerja sama dengan tentara. Sebagian besar korban adalah orang Jawa
dan Bali. Orang Tionghoa yang dibunuh biasanya terkait dengan organisasi kiri
seperti Baperki. Andaikata kaum militan Hutu Power berhasil mempertahankan
kekuasaan mereka seperti halnya Suharto, boleh jadi pembunuhan di Rwanda pun
akan salah diingat sebagai suatu ledakan misterius dan spontan dari hasrat
pembalasan dendam rakyat. Sehubungan dengan ulasan Prunier, hendaknya
diperhatikan bahwa Suharto belum menjadi presiden pada 1965.
96Esai pengantar dalam buku yang ikut saya sunting memberikan
analisis yang lebih luas, meskipun masih bersifat pendahuluan mengenai
pembunuhan tersebut: Roosa, Ratih, dan Farid, eds., Tahun yang Tak Pernah
Berakhir, 8-18. Masih banyak penelitian sejarah lisan yang perlu dilakukan
mengenai pembunuhan di berbagai tempat sebelum gambar yang lebih jelas dapat
muncul.
97
Kebebalan ingatan sosial
mengenai pembunuhan ini dapat dilihat dalam karya Taufiq Ismail, salah seorang
penyair Indonesia yang terkenal. Dalam buku kumpulan yang kacau-balau berisi
gambar, dokumen, dan esai pendek (beberapa di antaranya mengenai masalah narkotika
yang tidak relevan), Ismail menyatakan Marxisme-Leninisme adalah ideologi
berpembawaan jahat yang pasti berujung pada genosida. Pembunuhan massal
antikomunis 1965-66 dengan begitu merupakan tindak pencegahan: pembunuhan itu
dilakukan untuk mencegah pembunuhan massal lebih besar yang akan dilakukan kaum
komunis. (Ismail, Katastrofi Mendunia). Ilmuwan sosial Iwan Gardono
Sujatmiko juga mengatakan bahwa pembunuhan massal itu merupakan upaya
pencegahan: “Kehancuran PKI Tahun 1965-1966,” 11. Tentu saja semua pembunuhan
massal yang pernah ada dapat dibenarkan dengan cara demikian. Para pelaku
selalu mengaku bertindak untuk membela diri. Pembenaran Ismail dan Sujatmiko
secara eksplisit terhadap pembantaian politik ini tidak lazim dalam wacana
publik Indonesia – kejadian ini biasanya diabaikan begitu saja – tapi secara
akurat mencerminkan apa yang akan dinyatakan oleh mereka yang terlibat dalam
pembunuhan itu jika didesak untuk menjelaskan tindakan mereka.
98R. Evans, Coming of
the Third Reich, 328-333.
99Dikutip dalam R. Evans, Coming of the Third Reich, 332.
100Setiawan, Kamus Gestok,
99-100.
101Lihat pidato-pidato yang dikumpulkan dalam Setiyono dan Triyana,
Revolusi Belum Selesai.
102Strategi Sukarno untuk menghadapi Suharto dari akhir 1965 sampai
Maret 1968 memerlukan perhatian lebih banyak dari apa yang diperoleh selama
ini. Crouch, yang analisisnya paling rinci sejauh ini, berpendapat bahwa
Sukarno yakin dapat mengalahkan Suharto (Crouch, The Army and Politics in
Indonesia, 158-220. Juga dalam Legge, Sukarno, 430-58). Namun tetap
menjadi pertanyaan, mengapa Sukarno tidak memecat Suharto atau menyerukan
perlawanan terhadap pembantaian yang dilakukan tentara. Cara utama Sukarno
melakukan perlawanan adalah dengan berpidato – cara yang diketahuinya sia-sia
karena tentara, yang mengontrol media, memberangus atau mendistorsi
pernyataan-pernyataannya. Apa pun alasan Sukarno menggunakan strategi kompromi
ini, kiranya sulit menghindari kesimpulan bahwa ia bertindak sebagai pengecut
menghadapi pembunuhan massal itu.
103
Pada 2000 pemerintah
menghapus Hari Kesaktian Pancasila untuk menghindari konotasi bahwa Pancasila
itu sakti sehingga kedudukannya sama dengan agama. Sebutan baru yang digunakan,
Peringatan Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan Terhadap Pancasila,
menegaskan ulang propaganda rezim Suharto; Gerakan 30 September, bukan
pembantaian massal yang terjadi menyusul, merupakan tragedi nasional (“Betrayal
of Pancasila Tragedy Commemorated,” Jakarta Post, 2 Oktober 2000).
Ketika Megawati Sukarnoputri menjadi presiden, ia memimpin upacara di Lubang
Buaya pada 2001 dan 2003, tetapi pada 2002 dan 2004 ia mengirim menteri
koordinator politik dan keamanan untuk memimpin upacara itu (“Megawati dan
Hamzah Tak Hadir di Lubang Buaya,” Kompas, 1 Oktober 2004). Lihat juga
Adam, “Dilema Megawati di Lubang Buaya,” Kompas, 8 Oktober 2003;
McGregor, “Commemoration of 1 October,” 61-64.
104 , “When Memory
Challenges History”; van Klinken, “The Battle for History after Suharto.”
Laksamana.Net, “Amien Rais Inaugurates New Anti-Communist Front,” 27 Februari
2001. Lihat juga artikel-artikel surat kabar yang menggebu-gebu pada April 2000
ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan agar ketetapan MPRS yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut: “New Wave of Protests Target Plan on Communism,” Jakarta
Post, 8 April 2000, hal. 1. Sulastomo, “Tap XXV/MPRS/1966,” Kompas,
12 April 2000, hal. 4. Franz Magnis-Suseno, “Mencabut Tap No
XXV/MPRS/1966?,” Kompas, 14 April 2000. “Dari Secangkir Kopi ke Hawa
Nafsu,” Kompas, 14 April 2000, hal. 7; “Clamour about Marxism,” Jakarta
Post, 18 April 2000, hal. 4.
105 Antara 1965-66, sebagai
mahasiswa di Jakarta, Soe Hok Gie adalah pendukung berse-mangat gerakan operasi
militer melawan PKI dan Presiden Sukarno. Lihat kumpulan tulisan-tulisannya
dari masa itu, Catatan Seorang Demonstran. Tapi beda dari banyak
temannya sesama pemuda antikomunis, yaitu yang disebut Angkatan 1966, hatinya
memberontak seketika ia mengetahui tentang pembunuhan massal dan menyadari
bahwa pemerintahan Sukarno digantikan oleh kediktatoran militer.
Tulisan-tulisan Soe Hok Gie pada 1967-69, yang kemudian dikumpulkan dan terbit
di bawah judul Zaman Peralihan, mencetuskan pendapat berbeda yang keras.
Banyak dari kalangan “Angkatan 1966” yang mencela tirani Sukarno, kemudian
dengan nyaman menikmati posisi-posisi dengan gaji besar dalam tirani Suharto.
Bersambung: Dalil Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto Bagian 3
Baca Selengkapnya ....